Thursday, October 8, 2020

Kalimat Ringan Seharga Nyawa

Tugas NS-D6

Kalimat Ringan Seharga Nyawa
oleh : Puji Hasti


Ada rasa yang tak bisa dimengerti sejak Jid wafat. Hampaaa … Ya, rasa hampa yang tiba-tiba menyergap. Bagaimana tidak, sejak usia Haka menginjak 7 tahun hingga sekarang 13 tahun, Abah dan Jid bersama-sama medidiknya. Haka tak pernah punya guru lain selain Abah dan Jid. Maka pada keduanya tertuju cinta dan khidmat Haka.
Haka tahu, sebenarnya abah lebih terpukul lagi. Tapi abah berusaha tegar. Abah menyibukkan diri menunaikan semua amanah dari Jid.
Ada satu lagi yang sangat kehilangan yaitu Jiddah, istri Jid. Haka sering melihatnya menangis lama di atas sajadah. Terkadang Jiddah duduk menyendiri, pada saat itulah Haka mencoba menghibur.
Seperti pagi itu, dibuatnya minuman kesukaan Jiddah, lalu dihidangkan di hadapannya.
“ Salam Jiddah. Semoga berkenan mencicipi minuman yang saya sajikan … “ Hakka menganggukan kepala dalam-dalam. Dirinya tetap berjongkok di dekat kursi Jiddah. Jiddah menatap cucunya itu dengan mata berselimut mendung. Diusapnya kepala Haka, sampai wajah itu terangkat.
“ Oooh Haka ... , dirimu mewarisi sifat kedua orang yang sangat kucintai. Padamu berpadu sifat keras Jidmu dan sifat lembut Abahmu.” Sekarang senyum Jiddah agak lebar. Namun pandang matanya menerawang. Seketika bulir bening menetes jatuh dipipi.
Haka meraih tempat tissue lalu di dekatkan pada Jiddah. Setelah itu dengan nada yang lembut dia bertanya.
“ Bagaimana Jiddah mau menikah dengan Jid, kalau memang Jid itu keras ?” Senyum Haka tertahan. Pertanyaan ini sengaja dipilih untuk membangkitkan kenangan indah Jiddah bersama Jid.
Tentu saja Dia tahu persis, bagaimana Jid sangat memuliakan Jiddah. tak pernah ada sedikitpun ucapan dan tindakan Jid yang keras pada Jiddah.
“ Eeemh, Mama yang memilihkan Jid untuk Jiddah. Sebagai anak perempuan, Jiddah hanya patuh pada Mama sebagai ayah. Bahkan orang sekampung, semua juga sangat patuh pada Mama.” Kini senyum itu mengembang tanpa diiringi air mata.
“ Sangatlah wajar jika seorang anak patuh pada ayahnya. Tapi Apa sebabnya orang satu kampung juga sangat taat pada Mama ayahnya Jiddah ?” Haka terus berusaha menggiring pertanyaan menjauh dari hal-hal yang menyedihkan hati Jiddah.
“ Begitulah adanya Haka. Bermacam-macam alasan mereka sampai sedemikian taat dan cinta pada Mama. Emh … misalnya, ada sekelompok orang merasa berhutang nyawa.” Jidah mengangkat cangkir dan menghirup isinya perlahan.
“ Kalau tidak melelahkan Jiddah, izinkan saya mendengarkan ceritanya langsung dari lisan Jiddah ?” pinta Haka.
“ Tentu saja Jiddah mau menceritaknnya padamu Haka. Emh begini …, pernah suatu saat orang-orang terkepung banjir besar. Banjir naik dan naiiik terus dengan cepat. semua orang panik.” Jiddah berhenti sejenak, keningnya berkerut mengenangkan kejadian dimasa silam. Setelah menarik nafas panjang Jiddah melanjutkan ceritanya.
“ Diantara mereka ada yang usul untuk membuat perahu alakadarnya ataupun rakit dari bahan-bahan seadanya. Lalu mendayung Bersama ke daerah yang lebih aman. Tapi ketinggian air naik terlalu cepat. Tak ada waktu untuk membuat kendaraan apapun ."
" Ya Allah ... Lalu bagaimana nasib mereka semua ?" Haka penasaran.
" Mama ada disana bersama mereka. Mama mengumumkan bahwa mereka akan menyebrang tanpa perlu perahu dan tanpa perlu berenang mengarungi banjir. Setelah itu, Mama benar-benar mendekati tepian air banjir tersebut." Jiddah menyentuh cangkir dan perlahan menyeruput minumannya.
" Apa sebenarnya yang direncanakan Mama ?" Haka memiringkan wajahnya.
" Mama mengatakan siapapun yang hatinya YAKIN maka berpeganglah pada tangan Mama dan ucapkanlah BISMILLAH. Maka dia akan menyebrang Bersama Mama."
" Tanpa perahu ! Apakah ada yang bersedia ?" Haka tampak antusias.
" Yaa, keluarga dekat dan sahabat dekat Mama, langsung menggandengkan tangannya pada mama. Lalu mama memerintahkan agar yang tidak kebagian menggandeng tangan mama, hendaknya segera menggandeng tangan orang yang sudah terhubung dengan tangan mama." Jiddah menunjukkan cara menggandeng yaitu di siku bukan di pundak.
" Oh jadi mereka semua saling menyambung seperti rantai ? begitukah Jiddah ?" Haka mencoba membayangkan.
" Ya betul." Jiddah mengangguk. "Setelah itu Mama melangkah ke arah air. Mama berjalan diatas air seperti berjalan di atas jalan aspal. Dan siapapun yang menggandeng ikut berjalan diatas air. "
" Apakah akhirnya mereka semua selamat sampai di tempat aman, Jiddah ?" Tanya Haka penuh harap.
" Sayang sekali, ada satu orang yang sudah menempel dan ikut menyebrang. Lalu ditengah derasnya air dia bilang pada temannya. 'Ternyata hanya dengan mengucap Bismillah kita bisa berjalan diatas air. Suatu saat aku bisa lakukan sendiri.' kemudian ... emh ... begitulah ." Jidah membuang pandang ke luar jendela.
" Begitulah? begitu bagaimana Jiddah … ?" Haka mendekatkan wajahnya pada Jiddah. Sebab suara Jiddah seakan bergumam.
" Seketika itu juga, emh ... dia tenggelam , ... " Jiddah menarik nafas Panjang. Lalu menyandarkan punggungnya ke kursi.
" Kalau Jiddah lelah, mari saya antarkan Jiddah untuk beristirahat di kamar. " Usul Haka disambut senyum dan anggukan Jiddah.
******
Terkadang sebuah bacaan yang dianggap ringan, adalah hakikat dari segala hal. Lisan dari jiwa yang bagaimana, menjadikannya bertuah ?

#Literasi_Positif_Bersama_Nirania
#Nona_Squad
#Serial_hakadanasti
#Day5
#Tema_mendayung_bersama


No comments:

Post a Comment