Thursday, October 8, 2020

Kalimat Ringan Seharga Nyawa

Tugas NS-D6

Kalimat Ringan Seharga Nyawa
oleh : Puji Hasti


Ada rasa yang tak bisa dimengerti sejak Jid wafat. Hampaaa … Ya, rasa hampa yang tiba-tiba menyergap. Bagaimana tidak, sejak usia Haka menginjak 7 tahun hingga sekarang 13 tahun, Abah dan Jid bersama-sama medidiknya. Haka tak pernah punya guru lain selain Abah dan Jid. Maka pada keduanya tertuju cinta dan khidmat Haka.
Haka tahu, sebenarnya abah lebih terpukul lagi. Tapi abah berusaha tegar. Abah menyibukkan diri menunaikan semua amanah dari Jid.
Ada satu lagi yang sangat kehilangan yaitu Jiddah, istri Jid. Haka sering melihatnya menangis lama di atas sajadah. Terkadang Jiddah duduk menyendiri, pada saat itulah Haka mencoba menghibur.
Seperti pagi itu, dibuatnya minuman kesukaan Jiddah, lalu dihidangkan di hadapannya.
“ Salam Jiddah. Semoga berkenan mencicipi minuman yang saya sajikan … “ Hakka menganggukan kepala dalam-dalam. Dirinya tetap berjongkok di dekat kursi Jiddah. Jiddah menatap cucunya itu dengan mata berselimut mendung. Diusapnya kepala Haka, sampai wajah itu terangkat.
“ Oooh Haka ... , dirimu mewarisi sifat kedua orang yang sangat kucintai. Padamu berpadu sifat keras Jidmu dan sifat lembut Abahmu.” Sekarang senyum Jiddah agak lebar. Namun pandang matanya menerawang. Seketika bulir bening menetes jatuh dipipi.
Haka meraih tempat tissue lalu di dekatkan pada Jiddah. Setelah itu dengan nada yang lembut dia bertanya.
“ Bagaimana Jiddah mau menikah dengan Jid, kalau memang Jid itu keras ?” Senyum Haka tertahan. Pertanyaan ini sengaja dipilih untuk membangkitkan kenangan indah Jiddah bersama Jid.
Tentu saja Dia tahu persis, bagaimana Jid sangat memuliakan Jiddah. tak pernah ada sedikitpun ucapan dan tindakan Jid yang keras pada Jiddah.
“ Eeemh, Mama yang memilihkan Jid untuk Jiddah. Sebagai anak perempuan, Jiddah hanya patuh pada Mama sebagai ayah. Bahkan orang sekampung, semua juga sangat patuh pada Mama.” Kini senyum itu mengembang tanpa diiringi air mata.
“ Sangatlah wajar jika seorang anak patuh pada ayahnya. Tapi Apa sebabnya orang satu kampung juga sangat taat pada Mama ayahnya Jiddah ?” Haka terus berusaha menggiring pertanyaan menjauh dari hal-hal yang menyedihkan hati Jiddah.
“ Begitulah adanya Haka. Bermacam-macam alasan mereka sampai sedemikian taat dan cinta pada Mama. Emh … misalnya, ada sekelompok orang merasa berhutang nyawa.” Jidah mengangkat cangkir dan menghirup isinya perlahan.
“ Kalau tidak melelahkan Jiddah, izinkan saya mendengarkan ceritanya langsung dari lisan Jiddah ?” pinta Haka.
“ Tentu saja Jiddah mau menceritaknnya padamu Haka. Emh begini …, pernah suatu saat orang-orang terkepung banjir besar. Banjir naik dan naiiik terus dengan cepat. semua orang panik.” Jiddah berhenti sejenak, keningnya berkerut mengenangkan kejadian dimasa silam. Setelah menarik nafas panjang Jiddah melanjutkan ceritanya.
“ Diantara mereka ada yang usul untuk membuat perahu alakadarnya ataupun rakit dari bahan-bahan seadanya. Lalu mendayung Bersama ke daerah yang lebih aman. Tapi ketinggian air naik terlalu cepat. Tak ada waktu untuk membuat kendaraan apapun ."
" Ya Allah ... Lalu bagaimana nasib mereka semua ?" Haka penasaran.
" Mama ada disana bersama mereka. Mama mengumumkan bahwa mereka akan menyebrang tanpa perlu perahu dan tanpa perlu berenang mengarungi banjir. Setelah itu, Mama benar-benar mendekati tepian air banjir tersebut." Jiddah menyentuh cangkir dan perlahan menyeruput minumannya.
" Apa sebenarnya yang direncanakan Mama ?" Haka memiringkan wajahnya.
" Mama mengatakan siapapun yang hatinya YAKIN maka berpeganglah pada tangan Mama dan ucapkanlah BISMILLAH. Maka dia akan menyebrang Bersama Mama."
" Tanpa perahu ! Apakah ada yang bersedia ?" Haka tampak antusias.
" Yaa, keluarga dekat dan sahabat dekat Mama, langsung menggandengkan tangannya pada mama. Lalu mama memerintahkan agar yang tidak kebagian menggandeng tangan mama, hendaknya segera menggandeng tangan orang yang sudah terhubung dengan tangan mama." Jiddah menunjukkan cara menggandeng yaitu di siku bukan di pundak.
" Oh jadi mereka semua saling menyambung seperti rantai ? begitukah Jiddah ?" Haka mencoba membayangkan.
" Ya betul." Jiddah mengangguk. "Setelah itu Mama melangkah ke arah air. Mama berjalan diatas air seperti berjalan di atas jalan aspal. Dan siapapun yang menggandeng ikut berjalan diatas air. "
" Apakah akhirnya mereka semua selamat sampai di tempat aman, Jiddah ?" Tanya Haka penuh harap.
" Sayang sekali, ada satu orang yang sudah menempel dan ikut menyebrang. Lalu ditengah derasnya air dia bilang pada temannya. 'Ternyata hanya dengan mengucap Bismillah kita bisa berjalan diatas air. Suatu saat aku bisa lakukan sendiri.' kemudian ... emh ... begitulah ." Jidah membuang pandang ke luar jendela.
" Begitulah? begitu bagaimana Jiddah … ?" Haka mendekatkan wajahnya pada Jiddah. Sebab suara Jiddah seakan bergumam.
" Seketika itu juga, emh ... dia tenggelam , ... " Jiddah menarik nafas Panjang. Lalu menyandarkan punggungnya ke kursi.
" Kalau Jiddah lelah, mari saya antarkan Jiddah untuk beristirahat di kamar. " Usul Haka disambut senyum dan anggukan Jiddah.
******
Terkadang sebuah bacaan yang dianggap ringan, adalah hakikat dari segala hal. Lisan dari jiwa yang bagaimana, menjadikannya bertuah ?

#Literasi_Positif_Bersama_Nirania
#Nona_Squad
#Serial_hakadanasti
#Day5
#Tema_mendayung_bersama


Wednesday, October 7, 2020

Suapan Terakhir

Tugas NS-D4

Suapan Terakhir
Oleh : Puji Hasti

“ Tok … tok … tok … “ Haka mengetuk pintu perlahan. Itu hanya kode yang diajarkan abah untuk memberitahukan bahwa pesanan abah sudah siap.
Ketika handel pintu berputar, Haka segera berdiri di depan pintu dengan nampan ditumpu kedua belah tangan. Nampan itu berisi semangkuk air hangat dan sebuah handuk kecil.
Abah muncul dari balik pintu, matanya sembab.
“ Sekarang siapkanlah makanan untuk Jid.” Bisik Abah.
“ Siap Abah.” Haka berbisik pula.
Haka bergegas ke dapur. Membuat segelas susu, menghangatkan kari dan memanggang selembar roti cane. Mangkuk piring dan gelas ditata dengan apik diatas nampan.
" Tok ... Tok ... Tok ... " Kembali ketukan dipintu kamar Jid hanya sebagai kode pada abah. Namun abah tak juga keluar. Mungkin Abah masih sibuk mengurus Jid sakit.
Diletakan nampan di meja kecil dekat pintu. Haka sendiri duduk di lantai, menyandarkan punggungnya pada dinding kamar Jid.
Dinding ini, Posisi duduk ini, serta nampan yang berisi segelas susu, semangkuk kari dan selembar roti cane, melambungkan kenangannya pada suatu peristiwa.

*****
Beberapa tahun yang lalu …
Haka sendirian di kamar Jid. Duduk di lantai, punggungnya menyandar pada dinding. Di depannya ada beberapa kitab tafsir.

Matanya terpejam, mulutnya komat-kamit, merapal jutaan kata berbahasa Arab. Diremasnya jua perut yang terasa sakit melilit.
Dengan sisa tenaga, Haka mendekati pintu
“ Tok … Tok … Tok … “ Haka memberanikan diri mengetuk pintu. Handle pintu dibuka oleh seseorang dari luar.
“ Ada apa Haka ?” Tanya Jid yang muncul dari balik pintu.
“ Berilah saya makan dan minum Jid.” Pinta haka dengan suara parau.
“ Kenapa harus makan ?” Suara Jid tenang dan datar.
“ Karena saya lapar Jid.” Dicobanya menelan ludah dari mulut yang sudah kering.
“ Memangnya kenapa kalau lapar ?” Jid tetap tenang dan datar.
“ Kalau lapar terlalu lama, takut mati Jid.” Entah bagaimana kalimat itu tiba2 meluncur dari lisan Haka.
“ Memangnya kenapa kalau mati ?” Pertanyaan Jid ini sangat sulit untuk dijawab.

Hening … Haka menunduk.
Lalu Jid berjongkok, sehingga wajahnya sejajar dengan wajah Haka.
“ Sungguh Haka, untuk orang seperti kita, kematian itu lebih baik daripada, hidup tapi tidak hafal dan tidak faham Tafsir Al Qur’an.” Jid bicara lugas dan tegas.

Jleb … ! Kalimat itu terdengar bagai menggunakan microfon. Bergema berkali-kali ke jiwa dan fikirannya.
“ Haka ..., ketuklah pintu ini, jika kamu sudah hafal dan siap diuji tentang ketiga kitab tafsir tersebut. Jid menunggumu di luar. ” Jid mundur dari pintu, sebentar wajahnya menoleh ke sisi kiri.

Haka tahu, di kiri pintu ada meja kecil. Diatasnya ada nampan, berisi segelas susu , roti dan semangkuk kari. Biasanya, hidangan itulah yang menghapus lapar dan haus, hanya jika dia sanggup menjawab ujian dari Jid dengan baik.

Pintu ditutup kembali, diikuti suara handel pintu. “ ceklik …”

*****

“ Ceklik … !” Pada waktu yang bersamaan pintu kamar Jid dibuka agak lebar. Lamunannya pada kenangan masa lalu buyar. Haka segera berdiri, dengan sigap mengambil nampan diatas meja kecil.
“ Masuklah Haka, Jid ingin bertemu denganmu.” Pinta Abah dengan mata berkaca-kaca.
Haka melangkah perlahan memasuki kamar Jid. Kamar tempat dulu dirinya menyelami samudra ilmu tafsir. Mereguk ilmu yg tak akan ada dalam buku. Hanya ada di dada Jid.
Sekarang, di atas tempat tidur, Jid terbaring ditopang beberapa bantal bertumpuk. Dengan linangan air mata Haka meletakan nampan. Sepenuh jiwanya, Haka hanya berharap Jid sembuh.

“ Jid, minumlah susu hangat ini, Jid.” Lembut Haka membujuk Jid. Disuapkannya sesendok susu ke mulut Jid. Jid diam menatap wajah Haka dengan maat sendu. Lalu dibuka mulutnya demi mengikuti permintaan Haka.
Saat itu mata mereka bertemu pandang. Sama-sama berlinang air mata. Tangan Jid menyentuh bahu kurus Haka. Lalu katanya dengan nafas tersengal.
“ Ana uhibaka … uhibak. Yaaa Haka. Wallahi … Ana uhibak.” Jid bersumpah dengan nama Allah bahwa dirinya mencintai Haka. Seolah Jid ingin Haka tahu bahwa kerasnya Jid dalam mendidik Haka seluruhnya atas dasar cinta.

Haka mengangguk, bulir bening membasahi pipi. Digenggam dan diciumi tangan Jid . 13 tahun usianya kini, cukup untuk memahami seluruh maksud perkataan dan tindakan Jid selama mendidiknya.

Tak berselang lama dari itu, Jid menghembuskan nafas yang terakhir dengan senyum tersungging di bibir. Wajahnya bening dan bersinar indah.
Rupanya sesendok susu adalah suapan terakhir Haka untuk Jid. Dan kalimat Uhibak adalah kalimat terakhir yang diucapkan Jid untuk Haka.

Segala Hal Itu Mudah

Tugas NS-D3
Segala Hal Itu Mudah
Oleh : Puji hasti
Malam ini Jid datang berkunjung. Semua cucu berhamburan menyambut kedatangan Jid, Haka adalah yang terakhir hadir menyambut. Sejak pagi dia sangat sibuk membereskan rumah, merapikan kamar untuk Jid dan membantu Ummah memasak makanan kesukaan Jid.
" Marhaban Jid. Marhaban ahlan wa sahlan." Haka menciumi tangan jid dengan penuh cinta dan khidmat.
“ Masya Allah ... Haka cucuku, Sudah sampai mana hafalan Al Qur’anmu ? “ Tanya Jid.
“ Alhamdulillah, berkat do’a Jid, sudah selesai 30 Juz.” Haka membungkukan punggung sebagai penghormatan.
“ Khair … Semua itu mudah dengan barokah Rasulullah Muhammad saw dan keluarganya yang suci.” Jid mengusap kepala Haka.
Hanya sebentar Jid duduk melepas rindu, dikelilingi cucu-cucunya. Tetangga mulai berdatangan, mengucapkan selamat datang pada Jid. Bahkan entah orang dari mana saja, mulai memadati ruang tamu yang luas.
Sebagian dari mereka memohon doa dari Jid. Ada orang-orang sakit, minta doa untuk kesembuhannya. Ada orang terbelit urusan pelik, meminta doa dan nasihat agar urusannya lancar. Dan bermacam urusan lainnya.
Jid menolong mereka hanya dengan doa-doa yang diajarkan Nabi Muhammad saw dan keluarganya. Sebagian besar pengobatan Jid adalah dengan membacakan ayat2 suci Al Quran.
Ketika satu persatu menghadap Jid untuk menyampaikan permasalahannya, Maka sebagian besar hadirin saling menceritakan karomah Jid, yang pernah mereka rasakan langsung.
Haka tidak merasa aneh mendengar cerita orang-orang semacam itu. Sejak kecil dia mendengar orang-orang menyampaikan berbagai pengalamannya ketika ditolong oleh Jid.
Hanya saja yang haka dengar dari abah, jauh lebih mencengangkan, andai mereka semua tahu.
Orang-orang berkumpul datang dan pergi, hingga larut malam. Haka sibuk menghidangkan kue-kue dan minuman untuk para tamu. Setelah itu dirinya menyegerakan tidur.
Besoknya, terlihat kesibukan keluarga dan saudara-saudaranya bersiap-siap akan pergi wisata ke kebun binatang. Haka mempercepat mencuci bertumpuk-tumpuk cangkir, gelas, piring, dan sendok, bekas tamu tadi malam.
Setelah selesai, dia menghadap abah di ruang kerjanya.
“ Abah ..., izinkanlah saya ikut pergi wisata bersama keluarga besar.” Pintanya dengan halus.
“ Mintalah izin dari Jid “ Jawab abah. Haka segera beringsut mendekati Jid.
“ Jid, bolehkah saya pergi wisata? “ ucapnya sambil menunduk.
“ Yaaa tentu saja boleh Haka. Dengan syarat ..., bacakan dulu hafalan Al Quranmu di depan Jid.” suara Jid terdengar jelas dan tegas.
“ Baik Jid. Surat apakah yang harus saya baca ?” Haka yakin surat apapun yang diminta Jid, akan mampu dia bacakan.
“ Bacakanlah sebagaimana tertulis dalam Al Qur’an, Haka. Bacakan pada Jid dari mulai halaman satu hingga terakhir.”
Haka tersentak. Dilihatnya jam dinding, terbaca Jam 08.30. Hatinya ciut membayangkan bagaimana saudara dan keluarga besar, harus menunggu dirinya, mengkhatamkan seluruh ayat dalam Al Qur’an.
Tapi rasa hormat dan cintanya pada Jid, hanya memberi satu pilihan dalam hidupnya yaitu taat tanpa membantah. Maka dia sejenak menahan nafas, lalu segera menganggukan kepala dalam-dalam.
Jid meraih tubuh Haka dan memangkunya pada paha kirinya.
“ Bacakanlah Haka, Jid akan menyimak.” perintah Jid.
Haka memusatkan fikirannya pada hafalan quran, dia tak mau lagi mengingat tentang wisata keluarga. Dia mulai taudz memohon perlindungan Allah dan basmalah mengharap kasih dan sayang Allah.
Lalu mulai dilatunkannya bacaan surat Alfatihah, Al Baqoroh, Ali Imron, An Nisa dan seterusnya. Larut dia dalam kalam ilahi, hingga terlampaui juz demi juz. Terkadang matanya terpejam, terkadang menatap wajah Jidnya.
Mulutnya terasa kering dan tubuhpun terasa letih. Ketika akhirnya bacaan masuk pada awal Juz Amma, Juz terakhir, Haka berfikir hari mungkin sudah malam.
Dibacanya surat demi surat pendek dalam Juz Amma dengan tartil, hingga tiba pada akhir surat An Nas. Ditutupnya dengan ucapan,
“ Shadaqollahul Adzim …” Dibuka matanya, tampak wajah Jid tersenyum padanya.
Jid memeluk tubuh kurus Haka dan mencium keningnya. Haka lega, tapi sadar bahwa ini berarti, dirinya tidak ikut wisata ke kebun binatang.
Memahami yang dipikirkan cucunya, Jid menoleh pada jam dinding. Otomatis Haka mengikuti arah pandang Jid. Terlihat jam dinding menunjukkan 08.30. Haka bingung, menggigit bibirnya yang bawah. Jid hanya tersenyum dan mengangguk.
Haka tetap bingung, apakah jam dinding ini rusak ? Sedikitpun jarumnya tidak bergeser dari pertama dia taudz sampai khatam 30 juz.
Ataukah ..., sebenarnya hari sudah berjalan tepat 24 jam. Sehingga dia mendapati jam dengan posisi jarumnya, kebetulan tepat sama dengan yang terakhir dia lihat.
Saat Haka keluar dari kamar abah, dilihat saudaranya berlarian masih mengenakan baju yang sama. Begitu juga posisi barang dan keranjang2 makanan yang akan dibawa wisata, semua masih di posisi yang sama, dengan isi yang sama. Kening Haka berkerut.
Haka bergegas ke tempat mencuci piring. Semoga disana ada jawaban atas kebingungannya.
Disapukan pandangannya pada posisi cangkir, gelas, sendok, piring ... semua masih di posisi yang sama. Tepat sebagaimana keadaan terakhir Haka usai mencucinya.
Tess ... Teess ... !! perlahan air masih menetes dari gelas-gelas yang diletakan di bagian atas rak cuci piring.
Diraba piring dan sendok, basah … ini semua masih basah. ooowh ... !!
Dan dia dapati busa sabun pada spon pencuci piring, berdesis lirih, menghilangkan gelembung-gelembungnya lalu luruh menyatu dengan air sabun.
" Berarti, saya memang baru saja selesai mencuci piring, lalu bergegas masuk ke kamar abah. Lalu ... " Bisik Haka lirih. Yaa Lirih seperti desis gelembung yang luruh menyatu pada air sabun.
Jiwanya kini bagai gelembung sabun yang ingin lebur luruh dan menyatu dalam jiwa Jid.
Sayup terbayang wajah Jid jika sedang mengatakan,
“ Semua hal itu mudah, dengan barokah Rasulullah Muhammad dan keluarganya yang suci.”
#literasi_positif_bersama_nirania
#nona_squad
#penulis_perempuan
#Day3
#serial_hakadanasti

Menantang Diri

Tugas NS-D2
Menantang Diri
Oleh : Puji Hasti
Memberi ilmu pada yang perlu, bagai menumpahkan air diatas spon, terserap sempurna ! Memaksa murid belajar yang tak dibutuhkannya, bagaikan melempar siksa di pundak guru. Mengapa terjadi orang tua murid, menyelesaikan tugas-tugas anaknya, dari guru yang dibayarnya ?
*****
Malam itu, Haka memperhatikan sudara-saudaranya mengerjakan PR matematika. Terkadang mereka berhitung pada jemari. Jemari itu pula yang kemudian sibuk menoreh angka-angka di buku tulis.
Besoknya, setelah selesai mengerjakan segala tugas rutin, Haka menghampiri abahnya.
“ Abah, Saya ingin bisa berhitung seperti saudara-saudara yang lain.” Haka membuka pembicaraan.
“ Betulkah ?” Abah tersenyum memandang putranya.
“ Ya abah, saya sangat ingin bisa berhitung.” Haka mengangguk.
“ Baik. Besok adalah hari pertama kamu belajar berhitung. Bersiaplah … ” Entah mengapa kata 'bersiaplah' pada ujung kalimat abah terngiang-ngiang di telinga.
Besoknya di meja abah ada tas berisi beberapa lukisan kaligrafi. Haka menerka-nerka bagaimana cara belajar berhitung dengan lukisan-lukisan kaligrafi.
Ternyata Abah mengajaknya pergi ke pinggir jalan raya dengan menenteng keranjang berisi lukisan-lukisan kaligrafi. Ketika melihat celah kecil diantara pedagang kaki lima abah menunjuk.
“ Ambil tempat disitu Haka. Semua orang berdiam ditepi jalan raya ini, untuk menjual barang dagangan masing-masing. "
" Lalu apa yang harus saya lakukan abah ?" Tanya Haka.
" Jual lukisan kaligrafi ini." Jawab Abah
" Tapi saya tidak tahu cara berjualan, Abah ." Haka resah.
" Mudah sekali, Berikan satu lukisan kaligrafi pada orang yang memberikan satu lembar uang seperti ini. “ Abah menujukkan lembaran uang seribu.
Abah mulai melatih Haka dengan sebuah simulasi jual beli. Selembar uang untuk sebuah lukisan. Dua lembar uang untuk dua lukisan. Demikian abah merubah-rubah jumlah lembaran uang. Dan Haka harus menyerahkan kaligrafi, sesuai dengan jumlah lembar uang.
Haka memusatkan perhatian untuk belajar dan berlatih dengan cepat. Dia faham abahnya sebentar lagi harus berangkat mengajar.
Akhirnya, abah benar-benar meninggalkannya sendirian disana.
Beginilah cara abah menantang dirinya untuk belajar berhitung.
Beberapa orang tua yang melintas disana terlihat tersenyum melihat bocah berumur tujuh tahun menawar-nawarkan berbagai lukisan kaligrafi yang indah. Yang pertama mendekatinya adalah seorang Ibu yang sudah sepuh.
“ Berapakah harga lukisan kaligrafi ini Nak ?” Tanyanya dengan lembut.
“ Satu lukisan untuk satu uang seperti ini, Bu.“ Jawab Haka menunjukkan lukisan dan selembar uang seribu.
Ibu itu tertawa, kemudian dipilihnya sebuah lukisan.

Pembeli kedua adalah seorang bapak muda memakai kemeja putih rapi dan kopiah. Setelah memilih dua lukisan kaligrafi dia menyerahkan selembar uang lima ribuan.
" Maaf Tuan, beri saya satu lembar uang seperti ini untuk satu lukisan. dua lembar untuk dua lukisan." Ujar Haka sambil menunjukkan lembaran uang seribuan.

Bapak itu menatap Haka sambil menarik nafas panjang.
" Nak, selembar uang ini sama dengan 5 lembar uang seribu yang kamu pegang."

Haka tertunduk dibayangkan wajah abahnya.
" Kalau berkenan kembalilah bapak nanti sore ke sini lagi. Saat ini saya hanya akan menuruti pesan pemilik barang ini. Mohon maaf pak." Ujar Haka.
Bapak Itu tersenyum, mengangguk lalu mengelus kepala haka
" Baiklah aku akan kembali lagi nanti sore."

Setelah Bapak tersebut pergi, pikirannya Haka berkecamuk. Banyak hal yang ingin ditanyakan pada abah. Rasa dihati juga campur aduk. Senang, karena mendapat pengalaman baru. Khawatir, saat para pembeli mengatakan yang tak dimengerti. Penuh harap, ketika lukisan kaligrafi mulai dilihat-lihat oleh orang lewat.
Setiap terdengar adzan, Haka pulang untuk shalat. Tapi Abah belum ada di rumah. Beruntunglah, ketika adzan Magrib Haka pulang dan bertemu abah. Haka menunjukkan sisa lukisan di tas dan menyerahkan semua uang .
Diceritakan pengalaman hari pertama berjualan dan diajukan banyak sekali pertanyaan. Abah mengajaknya duduk berhadapan dan mulai mengajari arti uang 5.000, 10.000 dan 20.000. Diajarkan juga apa yang dimaksudkan dengan 'uang kembalian' .
Sekali lagi Abah membuat simulasi. Abah berperan sebagai pembeli. Haka sangat antusias. Dia yakin pelajaran ini akan sangat memudahkannya berjualan besok.

Sepenggal pengalaman sudah melintas. Matematika cara abah bukan berhitung di atas kertas. Berdagang adalah tentang mental, Tentang harapan yang acap kandas dan sikap baik yang sering tak berbalas.

Aksara Dalam Mimpi

Tugas D1-NS
Aksara Dalam Mimpi
Oleh : Puji Hasti
Kapankah hati dikosongkan dari keakuan ? Agar ilmu yang masuk dalam jiwa tak lagi sekedar melambungkan keangkuhan.
*** *** *** *** ***
Seperti biasanya, sejak jam 7 pagi perkampungan itu sepi. Semua anak di kampung itu berangkat sekolah/madrasah. Bapak-bapak umumnya bekerja. Yang tersisa tinggal Ibu2 dan balita.
Para Ibu sibuk dengan urusan rumah tangga. Balita bermain dibawah asuhan para wanita dewasa.
Tapi tak seperti itu di rumah abah, semua anaknya berangkat sekolah kecuali Haka. Setiap pagi abah meletakan cucian baju sekeranjang besar. Haka, bocah laki-laki berumur tujuh tahun itu, bertugas mencuci semuanya.
Pada saat menjemur, terkadang beberapa ibu yang melihat Haka berbisik-bisik menggunjingkannya.
“ Kenapa yaaa, anaknya Pak Ustadz yang satu itu, koq tidak disekolahkan. Padahal kakak2nya sekolah semua.” Seorang ibu membuka obrolan. Bibirnya mengsol, matanya melirik dan mendelik.
“ Kalo menurut Aye nih yee, palingan entu bocah emang kagak pingin sekolah, males mikir kali. Hehehe.” Yang lebih muda meladeni obrolan dengan santai.
“ Owalah, yo opoo nanti gedenya ? anak laki-laki koq cuma disuruh nggarap kerjaan rumah. Melas'e rek. “ Ibu muda tinggi kurus menjawab sambil mengayun2 bayi yg digendongnya.
Haka, pura-pura tidak mendengarkan gunjingan ibu-ibu tetangga. Diselesaikan segera urusan menjemur baju.
Baru saja dia letakan ember di dekat sumur, terdengar suara abahnya,
“ Dicuci sekalian piring dan gerabahnya, Haka “
“ Baik abah “ Tanpa ba bi bu Haka segera mengumpulkan alat makan bekas sarapan dan perabot kotor dari dapur. Dengan tekun semua dicucinya.
Matahari sudah naik sepenggalah. Haka sangat Lelah. Dihampiri abah di meja kerjanya.
“ Sudah Bah, sudah selesai cuci piring.” Kemeja Haka basah sebagian.
“ Bagus, lalu ada apa kamu terus berdiri disitu ?” Abah tersenyum sambil menatap putranya.
“ Bah … emh … saya ingin belajar baca dan tulis Bah.” suaranya parau.
.
“ Kalau betul mau belajar baca dan tulis, sana kamu ngepel dulu satu rumah. Jangan ada yang terlewat. Habis itu kuras bak mandi. Terus isi lagi sampai luber.” Jawab Abah jelas dan tegas.
“ Baik abah “ Sekali lagi Haka melesat ke bagian belakang rumah.
Haka sedemikian patuh dan percaya pada abahnya. Abah adalah seluruh kecintaan dan kebahagiaannya.
Haka segera mengepel seluruh ruangan rumah. Tangannya sudah keriput terkena air sejak pagi. Butiran keringat terkadang menetes bercampur air pel di ember. Satu hal yang dia ingat-ingat, bahwa akhir dari semua ini, abah akan mengajarinya baca dan tulis.
Maka dikuras bak mandi yang dalamnya setinggi bahu Haka. Disikat semua dinding dan sudut-sudut bak mandi. Haka tidak ingin ada kesalahan dalam pekerjaannya itu.
Setelah selesai, Haka keluar dari bak dan mulai memompa air sumur sambil menadahi airnya dengan ember. Seember demi seember, diisikan ke bak besar itu.
Awalnya Haka memompa dengan tangan kanan. Lama-lama dirasakan sangat pegal, dia pompa dengan tangan kiri. itupun tak berlangsung lama. Haka kini menimba dengan kedua tangannya.
Dibulatkan tekad dengan tenaga yang tersisa, untuk menuntaskan syarat belajar dari abah.
Sekarang bak tak hanya penuh tapi sudah luber, seperti pesan abah. Haka menghadap abahnya dengan senyum puas.
“ Abah ..., saya sudah selesai menguras bak dan mengisinya lagi sampai luber.” lapor Haka di ambang pintu.
" Baik, masuklah. Sekarang kamu pijiti dulu punggung abah."
“ Baik abah …” Kata Haka tetap patuh, tak menghiraukan segala lelahnya.
Abah mulai tengkurap. Haka menahan pegal di bagian atas lengannya dan mulai memijiti punggung abahnya. Haka yakin sebentar lagi abahnya pasti siap mengajarinya baca dan tulis. Dia memijiti abahnya dengan sebaik mungkin.
Keheningan berpadu dengan keletihan, membawanya pada ngantuk yang sangat. Tanpa sadar dia tergolek diatas punggung abahnya.
Dalam tidurnya, Haka bermimpi dirinya berangkat ke sekolah, lalu belajar membaca dan menulis. Setelah itu, masih dalam mimpi, dia pulang ke rumah dan besoknya sekolah lagi, belajar baca tulis lagi. Besoknya hal itu terulang dan terulang terus, bolak balik ke sekolah.
Mimpi itu seakan sangaaat Panjang dan terjadi berminggu-minggu. Sampai akhirnya Haka membaca sebuah naskah yang panjang di depan kelas. teman-teman dikelas ramai bertepuk tangan.
Dalam keadaan sangat senang itu, Haka terbangun dari mimpi. Ternyata dia tertidur di Kasur abah. Dilihat abahnya sedang duduk di depan buku terbuka.
Haka berwudu lalu mencium tangan abahnya. Abah tersenyum menunjukkan pada Haka buku yang sedang dibaca abah.
Haka melihat dan saat itu juga dia mengingat seluruh pelajaran dari mimpinya. Haka mulai melihat deretan huruf dan ternyata semua mudah untuk dibaca dan dimengerti.
" Bacalah ... !" perintah Abah.
Haka membaca buku tersebut halaman demi halaman dengan sangat lancar.
Setelah itu, abah memintanya menyalin beberapa paragraf. Sekali lagi Haka ingat pelajaran menulis dalam mimpinya. Selama proses menyalin, Haka membaca lalu menulis semua dengan mudah.
Bahkan ketika akhirnya abah mendiktekan kalimat2, Haka dapat menuliskannya dengan baik tanpa kesalahan sedikitpun.
*** *** *** *** ***
Terkadang sesuatu terlihat buruk hanya karena berbeda dengan kebiasaan umum. Bukankah setiap ayah berhak mendidik putranya dengan caranya sendiri ?