Thursday, April 30, 2020

Ibu dan Misteri Delapan Kelinci


Ibu selalu punya waktu untuk mendandani aku, tapi sekedarnya saja untuk memperhatikan  penampilannya sendiri.

Seperti pagi itu, ibu meyisir ulang rambutku yang mulai berantakan. Disematkannya pita biru untuk menutupi karet di ujung kepang rambutku.
“Kenapa pakai pita bu?” Tanyaku.
“Supaya bagus, kan kita mau pergi ke pasar.” Jawabnya sambil merapikan bajuku.

Setelah itu ibu menyambar selendang untuk menutupi kepalanya. Bergegas memakai sandal, lalu mengunci pintu. Satu tangan menuntunku, satunya lagi menenteng keranjang rotan untuk belanja.

Sejak keluar rumah, sampai ujung gang, aku mendengar ibu menyapa hampir semua orang yang bertemu. Senyum dan tawa selalu menghias bibirnya.

“ Waaah rajin sekali, masih pagi sudah jemur cucian, buuu.” Sapa ibu saat melewati seorang tetangga.
“ Permisi … permisiii … “ Ucap ibu pada beberapa wanita yang sedang berkumpul. Punggungnya dibungkukan selama melintasi mereka. Aku jadi ikut-ikutan jalan bungkuk.
“ Bagaimana kabar bibimu, sudah sembuhkah?” ibu menyempatkan berhenti di depan rumah tetangga yang keluarganya sakit. Dengan sungguh-sungguh ibu mengucapkan doa dan harapan untuk kesembuhan keluarganya.

Sikap sopan dan ramahnya ibu, tidak berubah dihadapan orang yang judes ataupun yang baik hati. Begitulah ibuku, sampai kami tiba di jalan raya.

Mobil, motor, becak dan sepeda ramai berseliweran. Kami mulai menyusuri jalan raya. Ibu berusaha untuk melindungiku. Separuh perjalanan ke pasar, ibu berhenti ditempat yang teduh di depan sebuah pabrik. Disitu trotoarnya rapi dan lebar.

“Sini ade, kita berteduh dulu di bawah pohon.” Hanya sebentar ibu duduk di sebelahku. Selebihnya malah berlutut didepanku. Menghapus keringat di dahi dan leherku. Lalu dengan pelan tapi ceria, ibu bernyanyi seakan ingin menghiburku yang lelah.

Dondong opo salak, duku cilik-cilik. Gendong opo mbecak, mlaku timik-timik.
Ati nderek ibu, tindak menyang pasar. Mboten pareng nakal, mboten pareng rewel. Mangke ibu mesti, tumbas oleh-oleh. Kacang kaleh roti, Ati diparingi.

Aku senang sekali mendengarkan ibu menterjemahkan lagu berbahasa Jawa itu, sepenggal demi sepenggal :

“ Kedondong atau Salak, Duku kecil-kecil. Digendong atau naik becak, jalan kaki dengan langkah kecil. Ati ikut ibu, belanja ke pasar. Tidak boleh nakal, tidak boleh rewel. Nanti ibu pasti beli oleh-oleh. Kacang juga roti, Ati diberi.”

Aku tersenyum lebar, membayangkan tokoh 'Ati' dalam lagu itu. Dia pasti senang. Pertama dia boleh naik becak. Kedua dia mendapat oleh-oleh kacang juga roti.

“ Bu, Apakah Ade juga boleh naik becak seperti Ati dalam lagu?” Tanyaku ragu-ragu.
“ Boleh, kalau nanti ada sisa uang belanja.” Ibu mengangguk-angguk sambil tersenyum.
“ Buu, apakah Ibu juga akan membeli kacang dan roti seperti Ibunya Ati ?” Meledaklah tawa ibu.
“ Eeemh … kita lihat nanti yaa, … ?” Jawab ibu masih tertawa.

Kami melanjutkan perjalanan ke pasar dengan gembira. Ku ulang-ulang lagu Dondong Opo Salak. Beberapa kali ibu memperbaiki nada atau caraku mengucapkan kata-katanya. Hingga tak terasa kami sudah tiba di depan pasar.
Di pasar, Ibu hanya membeli bumbu lalu mengitari pasar. Terkadang Ibu berhenti di satu kios untuk menyapa pedagang yang sudah saling kenal. Akhirnya ibu berhenti di pinggir pasar.

Ibu memperhatikan pedagang sayur yang sedang sibuk membuangi lapisan terluar dari kol, sawi putih, sawi hijau dan lain lain. Aku jadi ikut mengamati. 

Ternyata setelah lapisan terluar sayuran dibuang beberapa lembar, tampaklah bagian dalamnya yang masih bagus dan segar. Sayuran segar pastilah yang dicari pembeli.

Kudengar ibu bicara dengan pedagang sayur tersebut.
“ Pak, apakah rompesannya boleh dibeli?” Tanya ibu dengan ramah. Rompesan adalah lembaran-lembaran terluar sayuran yang layu atau sobek.
“ Rompesan mah ngga dijual bu. Ini mah mau dibuang.” Kata bapak pedagang sambil terus asik bekerja.
“ Tapi saya perlu rompesan itu pak. Barangkali saja boleh, saya beli separo harga,” Ibu membungkukan badan dengan sopan.
“ Buat apa sih bu?” Kata pedagang setengah tertawa.
“ emh anu … , emh … buat makanan kelinci pak.” Jawaban ibu membuatku tercengang. Ternyata ibu punya kelinci, pikirku.
“ Oooh buat kelinci. Ya sudah ambil saja mana yang ibu perlu.” Kata pedagang sambil mengeser wadah rompesan agar terjangkau oleh ibu.
 “ Baik pak ,terima kasih.”

Ibu segera memilih rompesan tersebut dan menyusunnya di keranjang rotan milik ibu, hingga penuh. Sementara itu, aku membayangkan serunya memberi makan kelinci.

“ Untuk ini semua, berapa saya harus bayar pak? Ibu menunjukkan isi keranjang rotan
“ Gratis bu, gratis. Silahkan di bawa saja bu.” Berkali-kali ibu mengucapkan terima kasih sebelum pamit.

Setelah itu ibu mampir ke sebuah kios. Aku berjingkrak kegirangan, melihat ibu membeli sebungkus kacang dan sepotong roti. Lalu ibu memanggil abang becak. Kamipun pulang naik beca. 
Sempurna !! Kini aku sama dengan tokoh Ati di lagu ibu.

Diatas becak, kunyanyikan lagi lagu Dondong Opo Salak, sambil kupeluk erat kacang dan roti.

“ Oh ya bu … apakah  kelinci yang mau dikasih makan itu banyak bu? Koq sayurannya banyak banget.” aku mengamati keranjang rotan ibu.
“ Iya De banyak, ada delapan … yang paling kecil dikasih pita biru, lucu sekali.” Ibu menahan tawa sambil merapikan rambutku. Tak sengaja, kulirik pita diujung kepang rambutku. Aku baru sadar, pitaku juga berwarna biru. Aih, suatu kebetulan yang aneh bahwa pitaku dan pita kelinci kecil, warnanya sama.

“ Wooow … delapan ya.“ Kataku sambil menatap jemari tanganku. Aku tidak asing dengan angka ini. Di rumah ibu biasa menyiapkan segala sesuatu berjumlah delapan. Ada delapan piring dan sendok, delapan cangkir dan tutupnya. Serba delapan, karena anak ibu ada delapan orang.

“ Kelinci yang paling kecil, yang pakai pita biru, barusan ikut induknya kelinci ke pasar. Kelinci-kelinci yang lainnya sedang sekolah di SD dan SMP Bina Ilmu.” Senyum ibu tambah lebar.

Haaah ... masa kelinci sekolah! Lagi pula, SD dan SMP Bina Ilmu, adalah nama sekolah kakak-kakakku. Berarti ... berarti ...

Aku terpekik ketika akhirnya mengerti, bahwa ibu menyebut kami sekeluarga adalah kelinci. Dan akulah kelinci kecil berpita biru, yang ikut induknya ke pasar.

Ibu mengangguk padaku, sambil tersenyum.
" Begini Ade, uang kita hanya cukup untuk beli rompesan. Tapi, pedagang sayur tadi, tidak menjual rompesan untuk dimakan orang. Kalau untuk makanan kelinci, boleh diambil banyak-banyak, tidak usah bayar katanya. Nah makanya, uangnya bisa dipakai naik beca, beli kacang dan roti."

Hari ini, aku sempurna menjadi seperti Ati di lagu ibu yang berjudul Dondong Opo Salak. Tapi kami sekeluarga menjadi keluarga kelinci.

Monday, April 20, 2020

Ibu, Menyulap Balita Jadi Nenek Nginang



Bagi banyak orang mungkin ibuku hanyalah seseorang yang ada di dunia. Tapi di masa kecilku, ibu seakan-akan seluruh duniaku. Keterpisahan dari ibu adalah mimpi buruk. Kekhawatiran terbesar adalah ditinggalkan oleh ibu.

Sayangnya, ibu justru setiap pagi memintaku berkunjung ke rumah tetangga. Tetangga di kanan dan kiri rumah ataupun depan rumah. Kebetulan mereka bertiga sudah sepuh dan hampir sepanjang hari sendirian.

Biasanya aku menemani mereka moyan atau nyeupah, keduanya adalah istilah dalam bahasa Sunda. Moyan adalah aktivitas berjemur pagi. Nyeupah adalah tradisi membersihkan mulut dengan sirih, kapur, pinang, gambir dan tembakau. Aktivitas Nyeupah ini oleh sebagian orang disebut menyirih, sedangkan ibuku sebagai orang Jawa menyebutnya dengan istilah Nginang.

Pagi itu, seperti biasa setelah meyisir rapi rambutku, dan memberi bedak bayi di wajahku. Lalu kami berdua minum teh hangat. Ibu minum satu mug besar, untukku satu cangkir kecil.

“ Ibu beres-beres rumah sebentar, ya. Ade temani nenek dulu.” Pinta ibu.
Aku mengangguk dan perlahan mendekati pintu rumah sebelah. Pintu itu setiap pagi dibiarkan terbuka. Melihatku datang, nenek langsung tertawa, melambaikan tangan, mengajakku duduk di sebelahnya. Nenek senang bercerita apa saja padaku.

Seperti biasa, aktivitas pagi nenek adalah nginang. Nenek biasa menunjukkan caranya padaku. Di letakan selembar daun sirih di telapak tangan. Lalu diolesi kapur yang lunak. Kemudian nenek memintaku meletakan serpihan gambir dan pinang diatasnya. Lalu daun sirih dilipatnya dengan rapi. Akhirnya Nenek meletakan gulungan sirih itu di mulutnya lalu dikunyah-kunyah.

Mulut dan gigi nenek sampai merah semua. Berkali-kali nenek membuang ludahnya di kaleng kecil, yang disebut tampolong. Terakhir Nenek akan membersihkan geliginya dengan irisan daun tembakau.

" Adeee, Adeee ... ." Kudengar suara ibu memanggilku, itulah saat yang membuatku lega. Meskipun nenek sangat baik, aku tetap khawatir ibu pergi tanpa aku. Untunglah dinding bambu memudahkan kami saling mendengar suara antar rumah tetangga. Sehingga aku tetap bisa mendengarkan suara-suara ibu sedang mengurus berbagai hal di dapur dan di sumur.

Aku berpamitan pada Nenek, dan berlari pulang ke rumah. Ibu memelukku sambil menanyakan apa saja yang aku lakukan di rumah nenek.
“ Aku membantu nenek nginang, Bu. Aku menata pinang dan gambir di atas daun sirih. Kata nenek aku pintar.” Ibu tertawa sambil bertepuk tangan.

Setelah membawaku cuci tangan di dekat sumur, ibu mengeringkan tanganku pada lap serbet yang sejak subuh selalu bertenger dipundaknya.

“ Nah sekarang Ade belajar masak nasi goreng yaa.” Kata ibu setengah tertawa.
“ Tapi aku takut api di kompor Bu.”
“ Iya Ibu tahu, makanya Ibu akan ajari Ade masak tanpa api.”
Aku lega mendengarnya.

Ibu memberiku nasi hangat setengah piring. Lalu menyodorkan wadah garam.
“ Coba nasinya dikasih garam sedikit.” Kata Ibu dengan senyum lebar.
Aku menjumput garam dengan jemari kecilku dan menaburkan di atas nasi.
“ Nah sekarang teteskan minyak jelantah. “ Ibu meletakan kaleng jelantah di sebelah piringku. Kuhirup aroma minyak jelantahnya wangi bawang goreng. Lalu ku tuang satu sendok kecil ke atas nasi.
“ Sekarang Ade aduk-aduk ya sampai rata, semua bulir nasi harus kena garam dan minyak.”
Akupun segera sibuk mengaduk nasi dengan sendok, sementara Ibu menyiapkan sarapan untuk dirinya.

“ Naah, kalau sudah rata, Ade boleh taburkan bawang goreng diatasnya.” Kata Ibu sambil menyodorkan piring kecil. Aku mengerjakan semua dengan gembira, lalu Ibu mencicipi.
“ Hemmm enaaak … Nanti kalau Ade sudah besar pasti jago masak.” Kata ibu sambil mengacungkan dua jempol. Aku tertawa senang.

“ Sekarang ayo kita sarapaaaan.” Seru ibu dengan gembira. Aku mulai makan dan memang rasa nasi goreng ini enak sekali, menurutku.

“ Ibu makan lauk apa ?” tanyaku sambil mengintip piring Ibu
“ Lauk kencur mentah. Ade mau cicip? Tapi kencur agak pedes dikit rasanya.”
Aku menutup mulutku sambil geleng kepala.
“ Kenapa ibu makannya lauk kencur bu? “ Tanyaku lagi
“ Sebab, kencur baik untuk kesehatan. kencur mengobati masuk angin dan bikin tenggorokan plong, jadi kalau nyanyi suaranya bagus. “ kata ibu sambil tertawa.
“ Ooooh … “ kataku mengangguk-angguk.

Ibu bangkit mencuci dan mengiris kunyit mentah. Lalu menyusunnya dengan cantik di piringku.
“ Nih Ade coba makannya lauk kunyit. Ini sih engga pedas.” Kata Ibu sambil senyum-senyum
Kuambil sepotong, mencoba mencium baunya, setelah itu menjilatnya.
“ Kenapa aku harus makan lauk kunyit bu?” Ibu malah tertawa ditanya seperti itu.
“ Karena Kunyit juga baik untuk kesehatan. Saat dimakan, kunyit mengobati luka di semua saluran pencernaan kita. Disini …, disini …, disini … daaan disiniiii … .” Dengan telunjuknya ibu menunjuk mulutku, tenggorokanku, lambungku, lalu perutku dari atas sampai ke bawah. Aku tertawa karena geli.

“ Buu, apakah orang lain juga, kalau sarapan, lauknya kencur dan kunyit?” Aku bertanya.
Ibu mendadak berhenti makan dan terkekeh.
“ Orang lain meminumnya dalam bentuk jamu, beras kencur dan kunyit asem. Atau mereka jadikan bumbu pada sayur. Tapi kita belum punya sayuran dan lauk pauk untuk di masak, jadi kita makan bumbunya saja.”
“Ooooh … .” Aku mengangguk dan tersenyum. Sekali lagi Ibu tertawa.
“Ayo cepat dimakan nasi goreng lauk kunyit. Kalau sudah habis, nanti ibu tunjukkan sebuah sulap.”
Aku senang mendengarnya, segera aku habiskan seisi piring. Melihatnya Ibu bertepuk tangan
“Horeee … Ade pinteeer, makannya cepat.”
“Kan kata Ibu, mau ada sulap.” Kataku menagih janji. Ibu menuntunku ke kamar mandi. Diambilnya sikat gigi dan diolesi pasta gigi.
“Aku sudah gosok gigi bu, tadi waktu mandi.” Aku bingung, bagaimana ibu bisa lupa.
“Kalau gosok gigi lagi, nanti ada sulapnya.” Mata ibu berbinar dengan alis diangkat.
“Ooooh … .” Aku tersenyum dan segera gosok gigi.



“Sim salabim adakadabra, Ade berubah jadi nenek-nenek nginang.” Ibu berlaga menyulapku. Disodorkannya padaku cermin kecil. Olalaaa … mulutku merah semua, persis orang nginang. 

Aku perhatikan di cermin, gigiku kuning-kuning bekas menggigit kunyit. Tapi saat terkena pasta gigi warnanya berubah jadi merah. Bulu sikat gigiku juga, dari putih berubah menjadi berwarna oren tua. Aku dan Ibu tertawa Bersama

Itu adalah pengalaman pertamaku belajar memasak. Ibu selalu punya cara seru, untuk menjadikan acara sarapan seadanya, menjadi istimewa dan tak terlupakan.

*) Apa masakan yang pertama kali kamu buat? Jangan bilang mie instan ya, wkkk ... . Silahkan  tinggalkan komen pada kolom dibawah yaaa ... Makasih.

**) Baca CERITA ADE yang lain dengan klik judul-judul dibawah ini yaaa ...

Ibu dan Misteri Delapan Kelinci
Ibu, Biduan yang Mampu Menghapus Lukisan Seram di Dinding

Belitung (1) Nenekku di Gantung di Manggar
Belitung (5) Antara Manggar & Tanjung Pandan Kureguk Dua Rindu