Ibu selalu punya waktu untuk mendandani aku, tapi sekedarnya saja untuk memperhatikan penampilannya sendiri.
Seperti
pagi itu, ibu meyisir ulang rambutku yang mulai berantakan. Disematkannya pita
biru untuk menutupi karet di ujung kepang rambutku.
“Kenapa pakai pita bu?” Tanyaku.
“Supaya
bagus, kan kita mau pergi ke pasar.” Jawabnya sambil merapikan bajuku.
Setelah itu
ibu menyambar selendang untuk menutupi kepalanya. Bergegas memakai sandal, lalu
mengunci pintu. Satu tangan menuntunku, satunya lagi menenteng keranjang rotan
untuk belanja.
Sejak
keluar rumah, sampai ujung gang, aku mendengar ibu menyapa hampir semua orang
yang bertemu. Senyum dan tawa selalu menghias bibirnya.
“ Waaah
rajin sekali, masih pagi sudah jemur cucian, buuu.” Sapa ibu saat melewati
seorang tetangga.
“ Permisi …
permisiii … “ Ucap ibu pada beberapa wanita yang sedang berkumpul. Punggungnya
dibungkukan selama melintasi mereka. Aku jadi ikut-ikutan jalan bungkuk.
“ Bagaimana
kabar bibimu, sudah sembuhkah?” ibu menyempatkan berhenti di depan rumah
tetangga yang keluarganya sakit. Dengan sungguh-sungguh ibu mengucapkan doa dan
harapan untuk kesembuhan keluarganya.
Sikap sopan
dan ramahnya ibu, tidak berubah dihadapan orang yang judes ataupun yang baik
hati. Begitulah
ibuku, sampai kami tiba di jalan raya.
Mobil, motor, becak dan sepeda ramai berseliweran. Kami mulai menyusuri jalan raya. Ibu berusaha untuk melindungiku. Separuh perjalanan ke pasar, ibu berhenti ditempat yang teduh di depan sebuah pabrik. Disitu trotoarnya rapi dan lebar.
Mobil, motor, becak dan sepeda ramai berseliweran. Kami mulai menyusuri jalan raya. Ibu berusaha untuk melindungiku. Separuh perjalanan ke pasar, ibu berhenti ditempat yang teduh di depan sebuah pabrik. Disitu trotoarnya rapi dan lebar.
“Sini ade,
kita berteduh dulu di bawah pohon.” Hanya
sebentar ibu duduk di sebelahku. Selebihnya malah berlutut didepanku. Menghapus keringat di
dahi dan leherku. Lalu dengan pelan tapi ceria, ibu bernyanyi seakan ingin
menghiburku yang lelah.
“ Dondong
opo salak, duku cilik-cilik. Gendong opo mbecak, mlaku timik-timik.
Ati nderek ibu, tindak menyang pasar. Mboten
pareng nakal, mboten pareng rewel. Mangke ibu mesti, tumbas oleh-oleh. Kacang
kaleh roti, Ati diparingi.”
Aku senang
sekali mendengarkan ibu menterjemahkan lagu berbahasa Jawa itu, sepenggal demi
sepenggal :
“ Kedondong atau Salak, Duku kecil-kecil. Digendong atau naik becak,
jalan kaki dengan langkah kecil. Ati ikut ibu, belanja ke pasar. Tidak boleh
nakal, tidak boleh rewel. Nanti ibu pasti beli oleh-oleh. Kacang juga roti, Ati
diberi.”
Aku
tersenyum lebar, membayangkan tokoh 'Ati' dalam lagu itu. Dia pasti senang. Pertama dia boleh naik becak. Kedua dia mendapat oleh-oleh kacang juga roti.
“ Bu,
Apakah Ade juga boleh naik becak seperti Ati dalam lagu?” Tanyaku ragu-ragu.
“ Boleh,
kalau nanti ada sisa uang belanja.” Ibu mengangguk-angguk sambil tersenyum.
“ Buu,
apakah Ibu juga akan membeli kacang dan roti seperti Ibunya Ati ?” Meledaklah
tawa ibu.
“ Eeemh …
kita lihat nanti yaa, … ?” Jawab ibu masih tertawa.
Kami
melanjutkan perjalanan ke pasar dengan gembira. Ku ulang-ulang lagu Dondong Opo Salak. Beberapa kali ibu memperbaiki nada atau caraku mengucapkan kata-katanya.
Hingga tak terasa kami sudah tiba di depan pasar.
Di pasar,
Ibu hanya membeli bumbu lalu mengitari pasar. Terkadang Ibu berhenti di satu
kios untuk menyapa pedagang yang sudah saling kenal. Akhirnya ibu
berhenti di pinggir pasar.
Ibu
memperhatikan pedagang sayur yang sedang sibuk membuangi lapisan terluar dari
kol, sawi putih, sawi hijau dan lain lain. Aku jadi ikut mengamati.
Ternyata setelah lapisan terluar sayuran dibuang beberapa lembar, tampaklah bagian dalamnya yang masih bagus dan segar. Sayuran segar pastilah yang dicari pembeli.
Ternyata setelah lapisan terluar sayuran dibuang beberapa lembar, tampaklah bagian dalamnya yang masih bagus dan segar. Sayuran segar pastilah yang dicari pembeli.
Kudengar
ibu bicara dengan pedagang sayur tersebut.
“ Pak,
apakah rompesannya boleh dibeli?” Tanya ibu dengan ramah. Rompesan adalah
lembaran-lembaran terluar sayuran yang layu atau sobek.
“ Rompesan
mah ngga dijual bu. Ini mah mau dibuang.” Kata bapak pedagang sambil terus asik
bekerja.
“ Tapi saya
perlu rompesan itu pak. Barangkali saja boleh, saya beli separo harga,” Ibu
membungkukan badan dengan sopan.
“ Buat apa
sih bu?” Kata pedagang setengah tertawa.
“ emh anu …
, emh … buat makanan kelinci pak.” Jawaban ibu membuatku tercengang. Ternyata
ibu punya kelinci, pikirku.
“ Oooh buat
kelinci. Ya sudah ambil saja mana yang ibu perlu.” Kata pedagang sambil
mengeser wadah rompesan agar terjangkau oleh ibu.
“ Baik pak ,terima kasih.”
Ibu segera
memilih rompesan tersebut dan menyusunnya di keranjang rotan milik ibu, hingga
penuh. Sementara itu, aku membayangkan serunya memberi makan kelinci.
“ Untuk ini
semua, berapa saya harus bayar pak? Ibu menunjukkan isi keranjang rotan
“ Gratis bu, gratis. Silahkan di bawa saja bu.” Berkali-kali ibu mengucapkan terima kasih sebelum pamit.
Setelah itu
ibu mampir ke sebuah kios. Aku berjingkrak kegirangan, melihat ibu membeli
sebungkus kacang dan sepotong roti. Lalu ibu memanggil abang becak. Kamipun
pulang naik beca.
Sempurna !! Kini aku sama dengan tokoh Ati di lagu ibu.
Sempurna !! Kini aku sama dengan tokoh Ati di lagu ibu.
Diatas becak, kunyanyikan lagi lagu Dondong Opo Salak, sambil kupeluk erat kacang dan roti.
“ Oh ya bu … apakah kelinci yang
mau dikasih makan itu banyak bu? Koq sayurannya banyak banget.” aku mengamati
keranjang rotan ibu.
“ Iya De
banyak, ada delapan … yang paling kecil dikasih pita biru, lucu sekali.” Ibu
menahan tawa sambil merapikan rambutku. Tak sengaja, kulirik pita diujung kepang rambutku. Aku baru sadar, pitaku juga berwarna biru. Aih, suatu kebetulan yang aneh bahwa pitaku dan pita kelinci kecil, warnanya sama.
“ Wooow …
delapan ya.“ Kataku sambil menatap jemari tanganku. Aku tidak asing dengan angka ini. Di rumah ibu biasa menyiapkan segala sesuatu berjumlah delapan. Ada delapan piring dan sendok, delapan cangkir dan tutupnya. Serba delapan, karena anak ibu ada delapan orang.
“ Kelinci
yang paling kecil, yang pakai pita biru, barusan ikut induknya kelinci ke pasar. Kelinci-kelinci yang lainnya sedang sekolah di SD dan SMP Bina Ilmu.” Senyum ibu tambah lebar.
Haaah ... masa kelinci sekolah! Lagi pula, SD dan SMP Bina Ilmu, adalah nama sekolah kakak-kakakku. Berarti ... berarti ...
Aku terpekik ketika akhirnya mengerti, bahwa ibu menyebut kami sekeluarga adalah kelinci. Dan akulah kelinci kecil berpita biru, yang ikut induknya ke pasar.
Ibu mengangguk padaku, sambil tersenyum.
" Begini Ade, uang kita hanya cukup untuk beli rompesan. Tapi, pedagang sayur tadi, tidak menjual rompesan untuk dimakan orang. Kalau untuk makanan kelinci, boleh diambil banyak-banyak, tidak usah bayar katanya. Nah makanya, uangnya bisa dipakai naik beca, beli kacang dan roti."
Hari ini, aku sempurna menjadi seperti Ati di lagu ibu yang berjudul Dondong Opo Salak. Tapi kami sekeluarga menjadi keluarga kelinci.
Aku terpekik ketika akhirnya mengerti, bahwa ibu menyebut kami sekeluarga adalah kelinci. Dan akulah kelinci kecil berpita biru, yang ikut induknya ke pasar.
Ibu mengangguk padaku, sambil tersenyum.
" Begini Ade, uang kita hanya cukup untuk beli rompesan. Tapi, pedagang sayur tadi, tidak menjual rompesan untuk dimakan orang. Kalau untuk makanan kelinci, boleh diambil banyak-banyak, tidak usah bayar katanya. Nah makanya, uangnya bisa dipakai naik beca, beli kacang dan roti."
Hari ini, aku sempurna menjadi seperti Ati di lagu ibu yang berjudul Dondong Opo Salak. Tapi kami sekeluarga menjadi keluarga kelinci.
*) teman-teman baca ya seri CERITA ADE yang lain, dengan klik judul dibawah ini :
Ibu, Biduan yang Mampu Menghapus Lukisan Seram di Dinding
Ibu, Menyulap Balita Jadi Nenek Nginang
Belitung (1) Nenekku di Gantung di Manggar
Belitung (5) Antara Manggar & Tanjung Pandan Kureguk Dua Rindu
**) ilustrator : IZZU https://www.instagram.com/izzuddindotkom/
Ibu, Biduan yang Mampu Menghapus Lukisan Seram di Dinding
Ibu, Menyulap Balita Jadi Nenek Nginang
Belitung (1) Nenekku di Gantung di Manggar
Belitung (5) Antara Manggar & Tanjung Pandan Kureguk Dua Rindu
**) ilustrator : IZZU https://www.instagram.com/izzuddindotkom/