Thursday, March 18, 2021
Antologi Aku Bisa Karya Aqilah dkk
Guru Tanpa Kelas
My Purple Heart
Kaktus Versus Lidah Buaya
Sri Rezeki dan Bisik-Bisik Tetangga
Wednesday, March 17, 2021
Kakek dan Giwang Pusaka (Bagian ke-2)
Pikiranku masih fokus pada sosok perempuan tak kasat mata yang selalu membersamai Arif anak Efa. Clue yang diberikan Farsi adalah, sebuah benda pusaka yang ada di tengah keluarga besar Efa.
Entah kenapa aku tiba-tiba ingat cerita Efa beberapa tahun yang lalu.
“ Eh Efa, coba ceritakan pada Farsi dan Ardan tentang foto lelaki di atas kuda. Yang disimpan nenekmu.” Pintaku pada Efa.
Efa menatap Farsi dan Ardan. Kedua pemuda ini mengangguk sopan untuk mempersilahkan Efa mulai bercerita.
“Kalau ini tentang leluhur dari jalur ayah saya. Dulu waktu saya masih kelas satu atau dua SD, saya suka berkunjung ke nenek. Dalam urutan persaudaraan, nenek tersebut adalah kakak dari kakek saya. Nenek menunjukkan beberapa album foto. Dan saat menunjukkan sebuah foto lelaki berkuda, nenek bilang bahwa leluhur kami sebetulnya dari Wetan, maksudnya dari suku Jawa.” Efa diam sejenak, matanya memperhatikan reaksi Ardan dan Farsi.
“ Naaah ini … dari siniii …” Kata Farsi sambil melirik Ardan yang sedang mengangguk-angguk.
“Efaa … ceritakan tentang cepuk berisi perhiasan.” Entah kenapa, aku ingin Efa bercerita tentang hal itu. Saking akrabnya aku dengan Efa, aku hafal sebagian besar yang Efa ceritakan padaku tentang masa kecilnya.
“ Yaaa … nenek juga menunjukkan sebuah cepuk berbentuk seperti alpukat yang bisa terbelah. Kalau dibuka di dalamnya ada banyak perhiasan. Seperti giwang dan lain-lain.” Efa berkisah.
“ Giwang itu berhias batu merah yaaa ?” Nada bicara Ardan terdengar seperti mengklarifikasi ketimbang bertanya.
“ Iyaa … “ Jawab Efa dengan bingung. Bagaimana dua pemuda ini, selalu tahu semua yang ada di pikiran Efa. Padahal semua itu adalah bagian dari kenangan semasa kecil Efa.
“ Nah iniiii … sosok perempuan itu, senengannya barang ini. Inilah sebenernya, pusaka yang kita bicarakan. Tapi, giwang itu sebenarnya apa sih …” Ujar Farsi.
“ Giwang itu hiasan kuping untuk perempuan. Ditusukkan ke bagian bawah kuping, terus ada penguncinya dari arah belakang, diputar begitu. Tapi karena giwang yang ini besar, jadi ada gantungan ke bagian atas kuping supaya tidak terasa berat. “ Efa menjelaskan.
“ Owalaaah … “ Seru Farsi. “Pantesan saya bingung koq bentuknya aneh. Saya baru tahu sekarang ini, yang namanya giwang tuh, kayak gitu toh. “ Farsi melirik pada Ardan lalu bergumam beberapa kalimat yang tak dapat kami tangkap.
gambar1 : contoh aneka bentuk giwang
“Ya sudah lah … pusaka ini jangan dicari cari lagi. Biarkan saja.” Kata Farsi pada Efa.
“Saya memang pernah bertanya tentang cepuk berisi perhiasan itu, pada saudara-saudara. Bukan ingin memiliki, bukaaan. Saya bertanya hanya karena merasa, itu adalah bagian dari kenangan masa kecil saya.” Ujar Efa terasa menggeragap.
“Sebetulnya mudah koq mengakhiri keberadaan si perempuan itu, shalawat saja tujuh hari berturut-turut, Artinya selama tujuh hari jangan ada satu hari terlewat tanpa shalawat.” Farsi menjelaskan.
“ Oooh, apakah shalawatnya seratus kali dalam sehari, atau bagaimana ?” tanya Efa mengejar penjelasan detail.
“ Enggaa … engga begitu. Pokoknya shalawat, dalam tujuh hari jangan ada yang terlewat.” Farsi mengulang penjelasannya.
“Kalau Arif shalatnya bagaimana ? Ada bolong-bolongnya ?” Tiba-tiba Farsi terasa menginterogasi
“ Yaa begitulah.” Jawab Efa.
“ Jangan ada bolongnya. Shalat jangan terlewat satupun.” Farsi menegaskan.
“ Baik, akan saya usahakan untuk mengawasinya.” Eva bersungguh-sungguh.
“ Suka gelelengan kayak-kayak mager gitu ?” Farsi mendesak. Yang dia maksudkan dengan gelelengan adalah rebahan tanpa aktifitas yang pasti dan jelas. Sedangkan mager adalah istilah singkatan dari males gerak.
“ Emh Iyaaa … “ Efa seperti membayangkan sebuah situasi.
“ Nah sosok perempuan ini, suka narik-narik tiap Arif mau keluar kamar untuk aktifitas. Jadi Arifnya udah bangun, rebahan lagi dan rebahan lagi.” Farsi sekali lagi menunjukkan gerakan jari mencakar, tapi yang aku merasa merinding adalah ketika akhir gerakan tersebut adalah memeluk.
“ Perempuan ini akan menjebak Arif pada lingkaran syahwat.” Ardan kali ini yang menegaskan.
“ Aaargh … “ Efa mengepalkan tinjunya.
“Shalat dan shalawat jangan bolong, selama tujuh hari. Insya Allah beres.”
Aku dan Efa saling lirik dan mengangguk berbarengan. Kulihat kedua pemuda dihadapan kami masih antusias.
"Apakah Arif suka pergi-pergi naik sepeda motor ?" Tanya Farsi serius
Efa masih diam, maka aku yang menjawab.
" Iya tentu saja, bukankah zaman sekarang, umum saja orang bepergian dengan sepeda motor ? Ada apakah ?" Aku penasaran kenapa koq tiba-tiba jadi membicarakan soal sepeda motor.
"Yaaa ... yaaa ... pada saat naik motor itulah ... " Sekarang Farsi yang kesulitan untuk bicara.
"Apakah saat naik motor itu ada yang membonceng ... ? Aku coba mendesak Farsi, untuk mengungkapkan yang dilihatnya.
"Yaa ... di sebuah jembatan. Perempuan itu, membonceng... . Sedangkan Arif, saat itu ... fikirannya sedang kosong." Farsi bicara dengan nada menyesalkan.
"Makanya jangan sampe hati kita itu kosong. Berdoa sebelum dan selama bepergian. Banyak-banyak dzikir dan shalawat." pinta Farsi dengan menghiba.
"Jembatannya kayak gimana sih ?" aku jadi penasaran. sebab rumah Efa dan rumahku tidak terlalu berjauhan.
“Efaaa … ceritakan sekalian tentang Gong pada mereka.” Pintaku.
Efa mengangguk pada farsi dan Ardan, lalu membuka kisahnya.
“ Iyaa … jadi begini, kampung kami ada di tatar Sunda. Di kampung kami ada yang namanya kabuyutan. Pada kami ada sebuah Gong. Tapi ngga bisa sembarang orang membunyikan gong tersebut. Kakek dari jalur mamah saya, dan nenek dari jalur ayah saya, kebetulan adalah yang bisa dan berhak untuk memukulnya.”
“ Kalau orang yang tidak berhak, tapi memukulnya juga, maka akan sakit orang itu” Kata Farsi.
“ Oh, saya ngga tahu hal itu.” Kata Efa
Tiba-tiba Ardan berdiri dan mencoba keluar dari ruangan.
“ Di titik ini aku ga sanggup melanjutkan lagi … “ Ujar Ardan.
“ Hey hey mau kemana ? Heeey … sini aja toh” Pinta Farsi sambil menunjuk tempat duduk Ardan yang semula.
Ardan balik lagi. Dia duduk dan coba menenangkan diri. Lalu mulai bertutur,
“ Jadi Bu Efaaa … para ahli sejarah bersepakat, bahwa pada masa colonial Belanda, para ulama diburu dan siapapun yang membela para ulama tersebut dibunuhi.
Pada suatu hari, sepertiga awal di Bulan Muharam, Gong ini dibunyikan dalam sebuah perayaan keagamaan. Dalam event tersebut, diceritakan tentang perjuangan Dzuriah Nabi Muhammad saw, yang gagah berani melawan kezaliman penguasa.
Belanda tidak suka pembahasan keagamaan yang seperti ini. Sebab membangkitkan jiwa perlawanan kaum tertindas, terhadap penguasa dzalim yang manapun. Belanda tahu riskannya pelajaran agama seperti ini. Acara dibubarkan paksa, bahkan hingga terjadi banjir darah. Dan Gong itu, adalah saksi sejarah.”
Ardan berdiri lagi, lalu membenamkan wajahnya pada bantal yang ada di belakang kami. Tampaknya dia cukup terguncang, dengan apa yang disaksikannya. Farsi hanya bergidig, akupun merinding.
Kulirik Efa … wajahnya pucat. Kini sejarah leluhurnya terkuak sedikit demi sedikit.
“ Aku ingin pulang dan aku butuh waktu untuk merenung dan menangis sendiri.” Bisik Efa, kusambut dengan anggukan kecil.
Aku bergerak mundur menghempaskan tubuhku pada deretan bantal-bantal besar. Menarik nafas panjang dan pikiran menerawang. Semua yang terjadi saat ini dan disini sungguh tak terduga. Aku bahkan tak siap menjadi bagian dari dialog ini.
Pelataran kamar guru, kembali hening ...
*********
Tak ada kejadian yang kebetulan. Jika kali ini kami duduk bersama dalan satu pelataran. Bukan tidak mungkin bahwa duluuu, leluhur kami masing-masing juga pernah duduk bersama. Mungkin di suatu pelataran, pelataran dari bilik atau mihrob guru mereka.
Wallahu alam bishowab.
Tuesday, March 16, 2021
Kakek dan Giwang Pusaka (Bagian ke-1)
Peristiwa yang sudah lama menjadi tanda tanya, kadang terjawab dalam moment tak terduga. Rindu yang haru adalah saat terlambat untuk menyadari, bahwa cinta tulus tak terhalang ruang, tak berbatas waktu.
**************
Di depan kami duduk dua orang pemuda. Mereka tertawa-tawa santai menceritakan pengalaman seram jalan-jalan malam di area pekuburan. Mereka juga bercerita tentang bagaimana tanggapan guru spiritual mereka terkait perjalanan tersebut.
Ku colek Efa sahabatku.
“ Ayo ceritakan saja pada mereka, tentang pengaduan putramu. Percayalah, bukan suatu kebetulan bahwa malam ini kita duduk dihadapan kedua pemuda ini. “ Bisikku.
Kulirik kamar dimana guru mereka, tengah beristirahat. Kami duduk-duduk tepat di pelataran kamar beliau.
Aku yakin, Kedua pemuda ini tak akan berani melakukan kesalahan sedikitpun, di dekat kamar guru mereka.
Efa menggeser posisi duduk agar tepat berhadapn dengan Farsi, pemuda berkulit putih dengan wajah tirus.
“ Ehm … emh … “ Efa seolah meminta izin untuk memutus celoteh Farsi dengan Ardan, sahabatnya yang lebih pendiam namun selalu tersenyum.
“ Eh Farsi dan Ardan ..., Ini Bu Efa mau cerita sedikit. Tentang putranya yang bernama Arif.” Aku coba bantu bikin suasana kondusif untuk Efa bisa mulai bercerita.
“ Ayo Efa, ceritakan. Bukankah Arif juga ingin hal ini disampaikan ?” Pandanganku berpindah-pindah antara Efa dan dua pemuda ini.
“ emh … gini,” Efa mulai bercerita.
“Arif adalah anak saya, sedang bersama seorang tetangga. Nah, tetangga ini punya teman. Temannya ini, katanya sih bisa melihat yang metafisik. Terus Si teman ini bilang, bahwa bersama Arif sebenarnya ada sosok kakek pelindung, yang tidak kasat mata. Tapi juga ada sosok perempuan. Dan katanya, Arif bisa hidup sukses, jika bisa lepas dari sosok yang perempuan ini. "
Efa diam sejenak, memperhatikan respon kedua pemuda di hadapannya. Efa membungkam diri dengan mengatupkan gigi atas ke bibir bawah. Sesaat kemudian Efa meluncurkan pertanyaan.
“Apakah statement seperti ini benar ? Soalnya Arif bilang ke saya, bahwa dia juga mau dong lepas dari perempuan itu, kalau dengannya terbuka pintu sukses. ”
Farsi spontan menanggapi,
“ Bu Efa, coba itu Arif di bawa keliling silaturahmi ke rumah saudara-saudara. Cari rumah yang ada foto digantung dengan pigura hitam. “
“Bapak-bapak di foto dengan figura hitam itu, memakai kemeja putih.” Ardan menimpali.
“Dan pakai kopiah hitam.” Sahut Farsi.
“Foto itu dipajang di atas meja setinggi ini.” Ardan menunjuk buffet dibelakangnya kira-kira tingginya 80cm.
“Ya tapi naro fotonya engga simetris.” Farsi mencoba menjelaskan posisi foto dengan bantuan dua telapak tangannya.
Kuperhatikan wajah Efa, tampaknya cukup kaget melihat cara dua pemuda ini menanggapi dirinya. Akupun sejujurnya terperangah. Seolah ada slide yang hanya mereka berdua melihatnya. Lalu mereka bersahut-sahutan menceritakan gambar slide tersebut pada aku dan Efa.
Ardan ikut memperhatikan Efa, yang kepalanya dimiringkan dengan kedua alis bertaut. Ardan segera menambahkan penjelasan.
“ Ada juga koq beliau di foto yang di sebelahnya. Foto yang terlihat seperti foto keluarga. Beliau masih memakai kemeja putih dan kopiah hitam.”
Efa terbelalak,
“ Lho .. lhooo … itu mah foto-foto yang tergantung di rumah mamah saya. Dan berarti, orang yang di dalam foto tersebut, adalah kakek saya banget.”
“Fotonya dipajang di dinding, diatas meja kan?” Ardan mengklarifikasi.
“Ooooh pantesaaaan.” Kata Farsi dan Ardan berbarengan, sambil tersenyum lebar.
“Aku lihatnya terpasang di dinding, tapi koq remang agak gelap gitu. rupanya sekarang ditaro di box toh.“ Kata Farsi.
“ Emh … saya koq bingung yaa.” Kata Efa. ”Itu sih kakek saya langsung, saya pikir kakek yang lebih diatasnya lagi. Sebab kalau kakek yang lebih diatas mah, memang dijadikan tempat bertanya lah oleh masyarakat.” Lalu Efa menutup bibirnya dengan jemari.
“Lha siapa yang suka naro pulpen di saku kemeja ?” Ujar Farsi. Aku merasa seolah Farsi sedang melihat slide lain selain, foto diatas meja rias.
Efa nampak terhenyak, menahan nafas sejenak lalu katanya,
“Ya itu dia, yang di foto itu. Itu kakek saya persis, ayahnya mamah saya. Beliau memang biasa naro pulpen di saku kemejanya. Beliau bekerja sebagai penilik sekolah SMP. Makanya karena profesinya bukan ulama, saya engga nyangka justru beliau yang menjaga Arif anak saya.” Terasa getar rindu dan nada haru dalam kalimat-kalimat terakhir Efa.
“Beliaunya ini orang shaleh.” Kata Farsi.
“Iya dan kakek saya itu, orangnya pendiam.” Efa tertunduk.
“Beliau kena serangan jantung yaaa? Celetuk farsi agak mengagetkan.
Kali ini wajah Efa meringis, tatap matanya terlihat resah. Sebelum sempat menjawab dia menggelengkan kepalanya tapi sekaligus juga mengangguk.
“Emh, jatuh. Beliau jatuh saat memetik sesuatu di pohon.” Setelah menarik nafas panjang, Efa melanjutkan kisahnya.
“Jadi begini, kalau kalian lihat mata saya sipit, jangan anggap bahwa saudara-saudara kandung saya juga seperti saya.”
Aku tersenyum,
“ Benar, bahkan kakak laki-lakinya ada yang justru mirip orang Arab. Alisnya tebal, matanya belo.” Kataku menambahkan.
Efa mengangguk membenarkan, lalu melanjutkan kisahnya,
“ Nah waktu kecil, kulit saya putih dan mata saya sipit. Banyak yang meledek saya dengan panggilan AMOY. Kakek saya merasa kasihan. Kata kakek, 'biar anak ini mah kakek saja yang mengasuh.' Jadilah saya diasuh kakek. Sayangnya kakek kemudian meninggal. Jatuh saat memetik sesuatu di pohon.”
Tampaknya Efa sedang hanyut dalam gelora rindu pada kakeknya.
Tapi kupikir, ada hal lain yang lebih urgen. Maka segera kubuka pertanyaan lanjutan pada Farsi dan Ardan.
“Lalu siapakah sosok perempuan, yang menghalangi Arif untuk sukses ?” Tanyaku.
Farsi tertunduk, lalu dengan serius dia balik bertanya.
“ Ada sebuah pusaka. Apakah ada yang menyimpan pusaka di kalangan keluarga Bu Efa ?”
" Pusaka yaaa …, bentuknya apa? Keris kah atau apa ?” Efa terlihat bingung …
“Disebut keris terlalu kecil, disebut kujang juga bukan. Bentuknya begini ...” Farsi menggerakan telunjuknya untuk menggambarkan pada kami. “Seperti apa yaaa … koq saya melihatnya seperti telinga gitu."
Farsi dan Ardan saling tatap, lalu keduanya menarik nafas panjang sambil menunduk.
“Dari luar terlihat seperti pusaka yang baik, tapi dalamnya hiiih menipu.” Farsi memberi isyarat seperti jari mencakar.
Hening,
Mata efa menerawang sebuah masa … Ketika nenek dan kakeknya membuka sedikit demi sedikit rahasia keluarga. Rahasia titipan para leluhur.
Bersambung, silahkan klik link dibawah ini
Kakek dan Giwang Pusaka (Bagian ke-2)