Wednesday, March 17, 2021

Kakek dan Giwang Pusaka (Bagian ke-2)

Pikiranku masih fokus pada sosok perempuan tak kasat mata yang selalu membersamai Arif anak Efa. Clue yang diberikan Farsi adalah, sebuah benda pusaka yang ada di tengah keluarga besar Efa.


Entah kenapa aku tiba-tiba ingat cerita Efa beberapa tahun yang lalu.

“ Eh Efa, coba ceritakan pada Farsi dan Ardan tentang foto lelaki di atas kuda. Yang disimpan nenekmu.” Pintaku pada Efa.


Efa menatap Farsi dan Ardan. Kedua pemuda ini mengangguk sopan untuk mempersilahkan Efa mulai bercerita.

“Kalau ini tentang leluhur dari jalur ayah saya. Dulu waktu saya masih kelas satu atau dua SD, saya suka berkunjung ke nenek. Dalam urutan persaudaraan, nenek tersebut adalah kakak dari kakek saya. Nenek menunjukkan beberapa album foto. Dan saat menunjukkan sebuah foto lelaki berkuda, nenek bilang bahwa leluhur kami sebetulnya dari Wetan, maksudnya dari suku Jawa.” Efa diam sejenak, matanya memperhatikan reaksi Ardan dan Farsi.


“ Naaah ini … dari siniii …” Kata Farsi sambil melirik Ardan yang sedang mengangguk-angguk.


“Efaa … ceritakan tentang cepuk berisi perhiasan.” Entah kenapa, aku ingin Efa bercerita tentang hal itu. Saking akrabnya aku dengan Efa, aku hafal sebagian besar yang Efa ceritakan padaku tentang masa kecilnya.


“ Yaaa … nenek juga menunjukkan sebuah cepuk berbentuk seperti alpukat yang bisa terbelah. Kalau dibuka di dalamnya ada banyak perhiasan. Seperti giwang dan lain-lain.” Efa berkisah.


“ Giwang itu berhias batu merah yaaa ?” Nada bicara Ardan terdengar seperti mengklarifikasi ketimbang bertanya. 


“ Iyaa … “ Jawab Efa dengan bingung. Bagaimana dua pemuda ini, selalu tahu semua yang ada di pikiran Efa. Padahal semua itu adalah bagian dari kenangan semasa kecil Efa.


“ Nah iniiii … sosok perempuan itu, senengannya barang ini. Inilah sebenernya, pusaka yang kita bicarakan. Tapi, giwang itu sebenarnya apa sih …” Ujar Farsi.


“ Giwang itu hiasan kuping untuk perempuan. Ditusukkan ke bagian bawah kuping, terus ada penguncinya dari arah belakang, diputar begitu. Tapi karena giwang yang ini besar, jadi ada gantungan ke bagian atas kuping supaya tidak terasa berat. “ Efa menjelaskan.


“ Owalaaah … “ Seru Farsi. “Pantesan saya bingung koq bentuknya aneh. Saya baru tahu sekarang ini, yang namanya giwang tuh, kayak gitu toh. “ Farsi melirik pada Ardan lalu bergumam beberapa kalimat yang tak dapat kami tangkap. 

gambar1 : contoh aneka bentuk giwang


“Ya sudah lah … pusaka ini jangan dicari cari lagi. Biarkan saja.” Kata Farsi pada Efa.


“Saya memang pernah bertanya tentang cepuk berisi perhiasan itu, pada saudara-saudara. Bukan ingin memiliki, bukaaan. Saya bertanya hanya karena merasa, itu adalah bagian dari kenangan masa kecil saya.” Ujar Efa terasa menggeragap.


“Sebetulnya mudah koq mengakhiri keberadaan si perempuan itu, shalawat saja tujuh hari berturut-turut, Artinya selama tujuh hari jangan ada satu hari terlewat tanpa shalawat.” Farsi menjelaskan.


“ Oooh, apakah shalawatnya seratus kali dalam sehari, atau bagaimana ?” tanya Efa mengejar penjelasan detail.


“ Enggaa … engga begitu. Pokoknya shalawat, dalam tujuh hari jangan ada yang terlewat.” Farsi mengulang penjelasannya.


“Kalau Arif shalatnya bagaimana ? Ada bolong-bolongnya ?” Tiba-tiba Farsi terasa menginterogasi


“ Yaa begitulah.” Jawab Efa.


“ Jangan ada bolongnya. Shalat jangan terlewat satupun.” Farsi menegaskan.


“ Baik, akan saya usahakan untuk mengawasinya.” Eva bersungguh-sungguh.


“ Suka gelelengan kayak-kayak mager gitu ?” Farsi mendesak. Yang dia maksudkan dengan gelelengan adalah rebahan tanpa aktifitas yang pasti dan jelas. Sedangkan mager adalah istilah singkatan dari males gerak.


“ Emh Iyaaa … “ Efa seperti membayangkan sebuah situasi.


“ Nah sosok perempuan ini, suka narik-narik tiap Arif mau keluar kamar untuk aktifitas. Jadi Arifnya udah bangun, rebahan lagi dan rebahan lagi.” Farsi sekali lagi menunjukkan gerakan jari mencakar, tapi yang aku merasa merinding adalah ketika akhir gerakan tersebut adalah memeluk.


“ Perempuan ini akan menjebak Arif pada lingkaran syahwat.” Ardan kali ini yang menegaskan.


“ Aaargh … “ Efa mengepalkan tinjunya.


“Shalat dan shalawat jangan bolong, selama tujuh hari. Insya Allah beres.”


Aku dan Efa saling lirik dan mengangguk berbarengan. Kulihat kedua pemuda dihadapan kami masih antusias. 


"Apakah Arif suka pergi-pergi naik sepeda motor ?" Tanya Farsi serius

Efa masih diam, maka aku yang menjawab.

" Iya tentu saja, bukankah zaman sekarang, umum saja orang bepergian dengan sepeda motor ? Ada apakah ?" Aku penasaran kenapa koq tiba-tiba jadi membicarakan soal sepeda motor.


"Yaaa ... yaaa ... pada saat naik motor itulah ... " Sekarang Farsi yang kesulitan untuk bicara. 

"Apakah saat naik motor itu ada yang membonceng ... ? Aku coba mendesak Farsi, untuk mengungkapkan yang dilihatnya.

"Yaa ... di sebuah jembatan. Perempuan itu, membonceng... . Sedangkan Arif, saat itu ... fikirannya sedang kosong." Farsi bicara dengan nada menyesalkan.

"Makanya jangan sampe hati kita itu kosong. Berdoa sebelum dan selama bepergian. Banyak-banyak dzikir dan shalawat." pinta Farsi dengan menghiba.

"Jembatannya kayak gimana sih ?" aku jadi penasaran. sebab rumah Efa dan rumahku tidak terlalu berjauhan.

" Kayak gini ..." Farsi mengayunkan kedua telapak tangannya untuk memberi gambaran." Disamping kanan kirinya ada lampu-lampu berwarna putih.

Mendengar itu semua, aku geleng-geleng kepala. Masih ada rasa takjub pada kemampuan kedua pemuda ini. Walau Ardan lebih banyak diam, aku tahu pasti bahwa semua yang dilihat oleh Farsi, sebetulnya dilihat juga oleh Ardan. 

Dan sesungguhnya aku lebih takjub pada guru mereka, yang telah memilih kedua pemuda ini untuk membaca hal-hal seperti ini. Aku tahu betul, keduanya adalah alumni dari sebuah perguruan tunggi yang termasuk paling bergengsi di tanah air, dan dari jurusan eksakta pula.

Maka tak mau kehilangan moment, aku segera mendesak Efa untuk mengungkapkan hal lain.

“Efaaa … ceritakan sekalian tentang Gong pada mereka.” Pintaku. 

Efa mengangguk pada farsi dan Ardan, lalu membuka kisahnya.

“ Iyaa … jadi begini, kampung kami ada di tatar Sunda. Di kampung kami ada yang namanya kabuyutan. Pada kami ada sebuah Gong. Tapi ngga bisa sembarang orang membunyikan gong tersebut. Kakek dari jalur mamah saya, dan nenek dari jalur ayah saya, kebetulan adalah yang bisa dan berhak untuk memukulnya.” 


gambar2 : contoh goong pusaka kabuyutan di Bandung Selatan

“ Kalau orang yang tidak berhak, tapi memukulnya juga, maka akan sakit orang itu” Kata Farsi.


“ Oh, saya ngga tahu hal itu.” Kata Efa


Tiba-tiba Ardan berdiri dan mencoba keluar dari ruangan.

“ Di titik ini aku ga sanggup melanjutkan lagi … “ Ujar Ardan.


“ Hey hey mau kemana ? Heeey … sini aja toh” Pinta Farsi sambil menunjuk tempat duduk Ardan yang semula.


Ardan balik lagi. Dia duduk dan coba menenangkan diri. Lalu mulai bertutur,

“ Jadi Bu Efaaa … para ahli sejarah bersepakat, bahwa pada masa colonial Belanda, para ulama diburu dan siapapun yang membela para ulama tersebut dibunuhi. 

Pada suatu hari, sepertiga awal di Bulan Muharam, Gong ini dibunyikan dalam sebuah perayaan keagamaan. Dalam event tersebut, diceritakan tentang perjuangan Dzuriah Nabi Muhammad saw, yang gagah berani melawan kezaliman penguasa. 

Belanda tidak suka pembahasan keagamaan yang seperti ini. Sebab membangkitkan jiwa perlawanan kaum tertindas, terhadap penguasa dzalim yang manapun. Belanda tahu riskannya pelajaran agama seperti ini. Acara dibubarkan paksa, bahkan hingga terjadi banjir darah. Dan Gong itu, adalah saksi sejarah.”

gambar3 : contoh peringatan keagamaan 
yang menggunakan goong pusaka di tanah Sunda

Ardan berdiri lagi, lalu membenamkan wajahnya pada bantal yang ada di belakang kami. Tampaknya dia cukup terguncang, dengan apa yang disaksikannya. Farsi hanya bergidig, akupun merinding.


Kulirik Efa …  wajahnya pucat. Kini sejarah leluhurnya terkuak sedikit demi sedikit. 

“ Aku ingin pulang dan aku butuh waktu untuk merenung dan menangis sendiri.” Bisik Efa, kusambut dengan anggukan kecil.

Aku bergerak mundur menghempaskan tubuhku pada deretan bantal-bantal besar.  Menarik nafas panjang dan pikiran menerawang. Semua yang terjadi saat ini dan disini sungguh tak terduga. Aku bahkan tak siap menjadi bagian dari dialog ini.

Pelataran kamar guru, kembali hening ...

*********

Tak ada kejadian yang kebetulan. Jika kali ini kami duduk bersama dalan satu pelataran. Bukan tidak mungkin bahwa duluuu, leluhur kami masing-masing juga pernah duduk bersama. Mungkin di suatu pelataran, pelataran dari bilik atau mihrob guru mereka. 

Wallahu alam bishowab. 




No comments:

Post a Comment