Tuesday, March 16, 2021

Kakek dan Giwang Pusaka (Bagian ke-1)

Peristiwa yang sudah lama menjadi tanda tanya, kadang terjawab dalam moment tak terduga. Rindu yang haru adalah saat terlambat untuk menyadari, bahwa cinta tulus tak terhalang ruang, tak berbatas waktu. 

**************

Di depan kami duduk dua orang pemuda. Mereka tertawa-tawa santai menceritakan pengalaman seram jalan-jalan malam di area pekuburan. Mereka juga bercerita tentang bagaimana tanggapan guru spiritual mereka terkait perjalanan tersebut.


Ku colek Efa sahabatku. 

“ Ayo ceritakan saja pada mereka, tentang pengaduan putramu. Percayalah, bukan suatu kebetulan bahwa malam ini kita duduk dihadapan kedua pemuda ini. “ Bisikku.


Kulirik kamar dimana guru mereka, tengah beristirahat. Kami duduk-duduk tepat di pelataran kamar beliau.

Aku yakin, Kedua pemuda ini tak akan berani melakukan kesalahan sedikitpun, di dekat kamar guru mereka.


Efa menggeser posisi duduk agar tepat berhadapn dengan Farsi, pemuda berkulit putih dengan wajah tirus.

“ Ehm … emh … “ Efa seolah meminta izin untuk memutus celoteh Farsi dengan Ardan, sahabatnya yang lebih pendiam namun selalu tersenyum.


“ Eh Farsi dan Ardan ..., Ini Bu Efa mau cerita sedikit. Tentang putranya yang bernama Arif.” Aku coba bantu bikin suasana kondusif untuk Efa bisa mulai bercerita.


“ Ayo Efa, ceritakan. Bukankah Arif juga ingin hal ini disampaikan ?” Pandanganku berpindah-pindah antara Efa dan dua pemuda ini.


“ emh … gini,” Efa mulai bercerita. 

“Arif adalah anak saya, sedang bersama seorang tetangga. Nah, tetangga ini punya teman. Temannya ini, katanya sih bisa melihat yang metafisik. Terus Si teman ini bilang, bahwa bersama Arif sebenarnya ada sosok kakek pelindung, yang tidak kasat mata. Tapi juga ada sosok perempuan. Dan katanya, Arif bisa hidup sukses, jika bisa lepas dari sosok yang perempuan ini. "


Efa diam sejenak, memperhatikan respon kedua pemuda di hadapannya. Efa membungkam diri dengan mengatupkan gigi atas ke bibir bawah. Sesaat kemudian Efa meluncurkan pertanyaan.

“Apakah statement seperti ini benar ? Soalnya Arif bilang ke saya, bahwa dia juga mau dong lepas dari perempuan itu, kalau dengannya terbuka pintu sukses. ”


Farsi spontan menanggapi,

“ Bu Efa, coba itu Arif di bawa keliling silaturahmi ke rumah saudara-saudara. Cari rumah yang ada foto digantung dengan pigura hitam. “

“Bapak-bapak di foto dengan figura hitam itu, memakai kemeja putih.” Ardan menimpali.

“Dan pakai kopiah hitam.” Sahut  Farsi.

“Foto itu dipajang di atas meja setinggi ini.” Ardan menunjuk buffet dibelakangnya kira-kira tingginya 80cm.

“Ya tapi naro fotonya engga simetris.” Farsi mencoba menjelaskan posisi foto dengan bantuan dua telapak tangannya.


Kuperhatikan wajah Efa, tampaknya cukup kaget melihat cara dua pemuda ini menanggapi dirinya. Akupun sejujurnya terperangah. Seolah ada slide yang hanya mereka berdua melihatnya. Lalu mereka bersahut-sahutan menceritakan gambar slide tersebut pada aku dan Efa.

Ardan ikut memperhatikan Efa, yang kepalanya dimiringkan dengan kedua alis bertaut. Ardan segera menambahkan penjelasan.

“ Ada juga koq beliau di foto yang di sebelahnya. Foto yang terlihat seperti foto keluarga. Beliau masih memakai kemeja putih dan kopiah hitam.”


Efa terbelalak,

“ Lho .. lhooo … itu mah foto-foto yang tergantung di rumah mamah saya. Dan berarti, orang yang di dalam foto tersebut, adalah kakek saya banget.”

“Fotonya dipajang di dinding, diatas meja kan?”  Ardan mengklarifikasi.


“Iya betul, itu meja rias." Jawab Efa. "Cuma sekarang rumah tersebut dipakai oleh keponakan saya. Jadi foto-fotonya diturunkan, terus ditaro di suatu box gitu. Ponakan saya merasa seram memasang foto-foto orang yang sudah meninggal.”

“Ooooh pantesaaaan.” Kata Farsi dan Ardan berbarengan, sambil tersenyum lebar.

“Aku lihatnya terpasang di dinding, tapi koq remang agak gelap gitu. rupanya sekarang ditaro di box toh.“ Kata Farsi.

“ Emh … saya koq bingung yaa.” Kata Efa. ”Itu sih kakek saya langsung, saya pikir kakek yang lebih diatasnya lagi. Sebab kalau kakek yang lebih diatas mah, memang dijadikan tempat bertanya lah oleh masyarakat.” Lalu Efa menutup bibirnya dengan jemari.

“Lha siapa yang suka naro pulpen di saku kemeja ?” Ujar Farsi. Aku merasa seolah Farsi sedang melihat slide lain selain, foto diatas meja rias.


Efa nampak terhenyak, menahan nafas sejenak lalu katanya,

“Ya itu dia, yang di foto itu. Itu kakek saya persis, ayahnya mamah saya. Beliau memang biasa naro pulpen di saku kemejanya. Beliau bekerja sebagai penilik sekolah SMP.  Makanya karena profesinya bukan ulama, saya engga nyangka justru beliau yang menjaga Arif anak saya.” Terasa getar rindu dan nada haru dalam kalimat-kalimat terakhir Efa.

“Beliaunya ini orang shaleh.” Kata Farsi.

“Iya dan kakek saya itu, orangnya pendiam.” Efa tertunduk.

“Beliau kena serangan jantung yaaa? Celetuk farsi agak mengagetkan.


Kali ini wajah Efa meringis, tatap matanya terlihat resah. Sebelum sempat menjawab dia menggelengkan kepalanya tapi sekaligus juga mengangguk.

“Emh, jatuh. Beliau jatuh saat memetik sesuatu di pohon.” Setelah menarik nafas panjang, Efa melanjutkan kisahnya.

“Jadi begini, kalau kalian lihat mata saya sipit, jangan anggap bahwa saudara-saudara kandung saya juga seperti saya.”

Aku tersenyum,

“ Benar, bahkan kakak laki-lakinya ada yang justru mirip orang Arab. Alisnya tebal, matanya belo.” Kataku menambahkan.

Efa mengangguk membenarkan, lalu melanjutkan kisahnya,

“ Nah waktu kecil, kulit saya putih dan mata saya sipit. Banyak yang meledek saya dengan panggilan AMOY. Kakek saya merasa kasihan. Kata kakek, 'biar anak ini mah kakek saja yang mengasuh.' Jadilah saya diasuh kakek. Sayangnya kakek kemudian meninggal. Jatuh saat memetik sesuatu di pohon.”

Tampaknya Efa sedang hanyut dalam gelora rindu pada kakeknya. 


Tapi kupikir, ada hal lain yang lebih urgen. Maka segera kubuka pertanyaan lanjutan pada Farsi dan Ardan.

“Lalu siapakah sosok perempuan, yang menghalangi Arif untuk sukses ?” Tanyaku.


Farsi tertunduk, lalu dengan serius dia balik bertanya. 

“ Ada sebuah pusaka. Apakah ada yang menyimpan pusaka di kalangan keluarga Bu Efa ?”


" Pusaka yaaa …, bentuknya apa? Keris kah atau apa ?” Efa terlihat bingung …


“Disebut keris terlalu kecil, disebut kujang juga bukan. Bentuknya begini ...” Farsi menggerakan telunjuknya untuk menggambarkan pada kami. “Seperti apa yaaa … koq saya melihatnya seperti telinga gitu."

Farsi dan Ardan saling tatap, lalu keduanya menarik nafas panjang sambil menunduk.

“Dari luar terlihat seperti pusaka yang baik, tapi dalamnya hiiih menipu.” Farsi memberi isyarat seperti jari mencakar.


Hening, 

Mata efa menerawang sebuah masa … Ketika nenek dan kakeknya membuka sedikit demi sedikit rahasia keluarga. Rahasia titipan para leluhur.


Bersambung, silahkan klik link dibawah ini

Kakek dan Giwang Pusaka (Bagian ke-2)




No comments:

Post a Comment