Maksud hati
ingin napak tilas leluhurku nenek Fatimah di Gantung dan Manggar, apa daya info
awalnya sangat minim. Maka terpaksa aku ikuti saja kemana Tour guide kami
mambawaku ke berbagai destinasi wisata yang umumnya ditawarkan pada tourist
domestik.
Sementara
mata, hati dan fikiranku sesungguhnya terus mencari jejak yang mungkin bisa
memberi petunjuk. Maklum ini adalah perjalanan pertamaku ke Belitung.
Dari Gantung, mobil bergerak menuju Manggar. Sempat berhenti di Musium Kata Andrea Hirata. Lalu singgah di Kampung Ahok yang sekarang berganti nama Kampung Fifi. Mampir juga ke Vihara tertua di Belitung yaitu Vihara Dewi Kwan Im, lalu makan di sebuah Resto tepian pantai Serdang.
Hari
beranjak senja. Aku mulai putus asa. Dialogku dengan beberapa orang di Manggar, tidak membuka titik cerah sedikitpun, tentang lokasi makam nenek Fatimah.
Dipuncak letih, ku-ayun langkah menuju kedai kopi. Manggar memang terkenal dengan julukan kota 1001 kedai kopi. Kupesan kopi susu panas, tanpa gula. Hitam pekat diatas lapisan putih. Aroma kopi meringankan resahku. Dalam setiap tegukan kopi, kunikmati manis yang samar dari endapan susu di dasar gelas, sementara pahitnya menyelimuti seluruh permukaan lidahku.
Secangkir
kopi Manggar, seperti pencarian jejak nenekku. Jauh di dasar hatiku, ada
bahagia karena bisa hadir mendekati nenek yang sudah 90 tahun tercerabut dari sanak famili dan kampung halamannya. Tapi ... menyadari kenyataan bahwa, tak ada kubur yang bisa kupeluk,
tak ada nisan yang bisa kuusap, sungguh pahitnya menghancurkan hatiku.
Adzan
magrib berkumandang … Aku sadar, inilah saat aku harus meninggalkan Manggar di
Belitung Timur. Entah kapan bisa kembali ke sana. Perih hatiku
memanggil-manggil nama nenek di dalam dada.
Mobil
bergerak menuju mesjid. Kami terlambat, shalat jamaah sudah selesai. Mesjid ini
terang di malam hari dan ramai dengan orang berbagai usia, baik pria atau
wanita. Aku terharu dan bersyukur. Semoga nenek tak jauh dari tempat ini, harapku.
Terdengar
dzikir bersama dari dalam masjid dengan pengeras suara. Bergantian suara fasih
seorang ustadz dan suara jama’ahnya. Aku melangkah ke tempat wudhu di samping
masjid. Barulah aku fokus mendengar ustadz tersebut berkata,
“ Marilah
kita bersama-sama berdoa membacakan tahlil tahmid serta fatihah dan yasin. Dan
pahalanya mari sama-sama kita kirimkan untuk orang tua kita, saudara-saudara
kita, kaum kerabat kita, serta kaum muslimin dan muslimat yang telah wafat
mendahului kita.”
Jleb … entah rasa apa yg menghujam jiwaku, melihat sekelompok orang yang masih terus mengenang orang-orang yang telah wafat, dan memuliakan nama-namanya dalam majelis doa, di tempat ibadah.
Aku baru menyadari bahwa aku berangkat dari Jakarta Kamis pagi sehingga malam pertamaku di Belitung adalah malam Jum’at. Rupanya di mesjid ini, terbiasa membaca doa, tahlil fatihah dan Yasin setiap malam Jum'at.
Aku baru menyadari bahwa aku berangkat dari Jakarta Kamis pagi sehingga malam pertamaku di Belitung adalah malam Jum’at. Rupanya di mesjid ini, terbiasa membaca doa, tahlil fatihah dan Yasin setiap malam Jum'at.
Ku dengar
ustadz berkata juga,
“ Dan
marilah kita khususkan bacaan kita untuk
almarhum … dst ... “ Lalu ustadz tersebut menyebut sekitar empat nama, kuduga nama2
tersebut adalah bagian dari warga yang baru wafat. Daaaan ajib ! aku mendengar
semua nama khusus yang disebut kebetulan adalah nama-nama dengan ciri khas Jawa tengah.
Tiba-tiba
aku lemas dan tak sanggup menahan tangis. Aku ingat nenek Fatimah. Nenekpun Lahir di Jawa tengah, meski nama diri dan nama keluarganya cenderung ke Arab-araban. Andaikan, oh andaikan ... orang-orang disini juga mengirimkan doa untuk nenekku.
Selesai shalat aku tak ingin meninggalkan masjid ini. Padahal rombonganku sudah menunggu di dalam mobil. Aku masih larut dalam tangisku untuk nenek Fatimah. Kuikuti bacaan Yasin dari dalam masjid hingga tuntas doa-doanya.
Selesai shalat aku tak ingin meninggalkan masjid ini. Padahal rombonganku sudah menunggu di dalam mobil. Aku masih larut dalam tangisku untuk nenek Fatimah. Kuikuti bacaan Yasin dari dalam masjid hingga tuntas doa-doanya.
Mobil mulai
meninggalkan parkiran dan mendekati posisiku di teras selatan masjid. Aku faham, ini
detik-detik kutinggalkan Manggar.
Oh Tuhaaan … bukankan bagi setiap yang merindu, engkau sanggup berikan mukjizat Cinta. Sungguh aku rindu nenek Fatimah, sejak masa kanak-kanakku. Namanya selalu kusebut dalam doaku, setiap selesai shalat.
Oh Tuhaaan … bukankan bagi setiap yang merindu, engkau sanggup berikan mukjizat Cinta. Sungguh aku rindu nenek Fatimah, sejak masa kanak-kanakku. Namanya selalu kusebut dalam doaku, setiap selesai shalat.
Tiba-tiba
kulihat tiga remaja duduk di teras depan masjid. Kuhampiri mereka dan kusampaikan bahwa
aku ingin bertemu pak Ustadz yang memimpin tahlil. Dan ajib, Ustadz tersebut
bersedia menerimaku. Setelah berkenalan singkat, kusampaikan inti dari harapanku
“ Ustadz, bisakah
malam Jum’at depan dikhususkan doa, tahlil, fatihah dan Yasin, atas nama nenek saya.
Namanya Fatimah ?”
“ Sangat
bisa. Kapan nenek meninggal ?“ Jawabnya membuatku lega dan bahagia.
“ 90 tahun
yang lalu. Tahun 1929 “
Jawabanku
membuat ustadz terbelalak.
“ Ooooh
sudah sangat lama, ternyata. Dimanakah beliau dahulu dimakamkan ?”
Lidahku rasanya
tercekat, aku menggeleng.
“ Saya
tidak pernah tahu, ustadz. Hanya kakek dan ayah saya yang tahu. Tapi hingga keduanya wafat, tidak pernah menziarahinya. Dan mencegah kami berziarah pada siapapun. “ aku tertunduk menyembunyikan air mata yang tiba-tiba mengalir begitu saja.
“ Baiklah… Malam Jum’at depan saya akan pimpin doa, tahlil, fatihah dan yasin khusus untuk
neneknya mba, nenek Fatimah.”
Kutengadahkan
wajah, tak urung aku bertanya dengan heran,
“ Makasih ustadz
untuk rencana Yasinan nya. Eemh ... Ustadz koq sudah hafal nama nenek saya. Padahal baru
satu kali saya sebut.”
Dia diam
beberapa saat, lalu menarik nafas panjang dan dalam. Tatapannya jauh menerawang
“ Begini Mbaa ...., nama neneknya
mba ini, mengingatkan saya pada nama Putri kesayangan Baginda Nabi Muhammad
saw. Beliau juga bernama Fatimah. Keadaan makam beliau, sama dengan kubur neneknya
mba. Sejak wafatnya Fatimah binti Rasulullah saw tersebut, sampaaaai hari ini, tak ada orang yang tahu dimana letak makamnya. “
Kini dalam
hatiku ada dua kepiluan dan dua kerinduan. Maka kataku,
“ Kalau
begitu tolonglah, acara yasinan malam Jum’at depan untuk dua nama Fatimah sekaligus, Fatimah
binti Rasulullah dan Fatimah nenek saya.” Pintaku.
Ustadz
menoleh kearahku, dia mengangguk matanya berkaca-kaca. Tapi meskipun penasaran, kali ini aku tak berani bertanya, mengapa matanya berkaca-kaca.
Sebelum
pamit, kutitipkan amplop berisi uang tunai untuk amal jariah di Mesjid atas nama nenek Fatimah.
Ketika aku hampir membalikan badan dia berkata,
“ Setelah malam ini..., setiap
mba rindu pada nenek Fatimah, Rindukanlah juga Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah saw.
Dalam ketidak-tahuan kita, tentang dimana letak kubur mereka, ada ilmu yang harus kita gali, harus kita pelajari dan harus kita renungkan, mengapa hal demikian sampai terjadi.”
Kini ... dalam
gelap perjalanan antara dua kota, Manggar dan Tanjung Pandan, kureguk dua rindu.
Catatan :
Nah ... Buat teman2 yang belum membaca cerita lengkapnya dari awal, silahkan simak dengan klik judul di bawah ini :
Belitung (1) Nenekku Di Gantung Di Manggar
Belitung (2) Akan Kupamerkan Rapor & Izajah Ayah Pada Nenek
Belitung (3) Dia Tetap Hidup Dan Mendapat Rezeki Di Sisi Tuhan
Belitung (4) Gantung, Rinduku Tak Bersambut
Baca juga CERITA ADE yang lain dalam Seri IBU dengan Klik Judul dibawah ini :
Ibu, Biduan yang Menghapus Lukisan Seram di Dinding
Ibu, Menyulap Balita Jadi Nenek Nginang
Ibu dan Misteri Delapan Kelinci
Ibu, Aku Nggak Mau Ngaji Lagi
😭😭😭😭😭
ReplyDeleteFaz mukena, Makasih sudah mampir disini, dan menangis bersama saya ... Barokallahu fikum.
ReplyDelete