Hari ini
ibu tidak memasak. Sejak kusampaikan keinginanku untuk ngaji, bersama teman-teman.
“ Bu, boleh ngga, Ade belajar mengaji di Mushola RT.07 ?” Tanyaku penuh harap.
“ Kalau ngaji pastinya Boleh dong. Tapi perginya bareng siapa saja ? Mushola RT.07 kan
agak jauh.” Jawab ibu ragu.
“ Bareng teh
Iis, Imas, Rani, Aang, Iyan, emh... banyak deh teman-teman yang ngaji di sana.”
“ Oh syukurlah
kalau ada teh Iis, Ibu bisa menitipkanmu padanya.”
Ibu sudah tahu, teh Iis membantu Ustadz mengajar anak-anak kecil mengaji, di Mushala RT.07. Makanya ibu segera ke
rumah teh Iis, untuk menanyakan apa saja yang harus dibawa dan dipersiapkan.
Pulang ke rumah, ibu langsung mengambil kain batik di lemari. Kuperhatikan ibu mengunting dan menjahitnya dengan jahitan tangan. Lama-lama aku merasa ngantuk dan tertidur, di samping Ibu yang masih asik menjahit. Suara adzan ashar membangunkanku. Aku ingat, Ini adalah hari pertama aku akan mengaji bersama teman-teman.
Usai mandi
sore, aku ke rumah Rani. Kulihat Rani juga sudah mandi. Memakai kaos dan celana
pendek selutut. Di raihnya selembar sarung kecil bermotif batik.
Kuperhatikan Cara Rani memakai sarung batik. Terlihat sama seperti ayahku memakai sarung biasa yang bermotif kotak-kotak. Rani menggulung sarung itu di perut, karena kepanjangan.
Kuperhatikan Cara Rani memakai sarung batik. Terlihat sama seperti ayahku memakai sarung biasa yang bermotif kotak-kotak. Rani menggulung sarung itu di perut, karena kepanjangan.
Saat Aku
keluar dari rumah Rani, kulihat teman-teman perempuan juga memakai sarung batik
seperti Rani. Aku segera berlari ke rumah.
“ Ayo, ayo,
cepat pakai sarung dan selendangmu, takut ditinggal teh Iis.” Kata ibu yang sudah menungguku di pintu. Dibukanya lipatan sarung batik yang tadi dijahit untukku. O ow aku kaget, sarungku seperti rok. Dibagian
pinggang ada karetnya.
“ Kok begini
bu ? Sarung Rani dan Imas ngga seperti ini, bu. “
“ Ngga apa
apa ade. Kan ade masih kecil. Kalau pakai sarung seperti teman-teman, nantinya
akan sering merosot. Ibu takut ade jatuh kesandung sarungnya sendiri. Makanya ibu
jahitkan karet disini. Biar lebih praktis. ” Kata Ibu sambil menujuk
pinggangku.
Tak mau
buang waktu, aku manut saja saat ibu memakaikan sarung dan mengganti bajuku
dengan tunik tangan panjang. Terakhir ibu menutup rambutku dengan sehelai
selendang.
“ Bu ini
selendang yang mana ya ?"
“ Hehehe, itu selendang ibu. Sengaja dipotong juga biar agak kecil. Supaya pantas dan
tidak merepotkanmu saat dipakai.”
“ Makasih
ibu.” Kataku sambil memeluknya. Pasti Ibu repot mempersiapkan baju untukku ngaji.
“ Ngaji
yang rajin yaa. Biar jadi anak shalehah. Hati hati di perjalanan. Nurut sama Teh
Iis yaa …”
“ Ya Bu. “
Jawabku sambil mencium tangannya.
Langit sore
ini sangat indah. Aku berangkat mengaji bersama duabelas orang teman.
Anak laki-laki memakai baju yang biasa dipakai bermain. Sarung kotak-kotak di
selempangkan saja dibahu.
Teh Iis
sibuk menertibkan kami semua agar aman selama dalam perjalanan, terutama saat
beriringan di tepi jalan raya.
Tiba di
Mushala, pengajian segera dimulai. Ternyata muridnya banyak sekali dari
berbagai RT di kampung kami. Teh Iis dan teman-teman sepantarannya membantu ustadz.
Pertama-tama kami mendengarkan cerita dari ustadz Kemudian kami masuk dalam kelompok-kelompok kecil untuk mengaji secara bergiliran. Setelah itu menghafal juz amma bersama-sama. Terakhir menyanyikan lagu-lagu islami dan shalawat sambil menunggu adzan magrib.
Pertama-tama kami mendengarkan cerita dari ustadz Kemudian kami masuk dalam kelompok-kelompok kecil untuk mengaji secara bergiliran. Setelah itu menghafal juz amma bersama-sama. Terakhir menyanyikan lagu-lagu islami dan shalawat sambil menunggu adzan magrib.
Saat mengantri
untuk wudhu, kudengar anak laki-laki berbisik-bisik serius dan terlihat marah.
Rani adalah adik Iyan. Rani juga mulai berbisik-bisik padaku dan semua anak perempuan
yang tadi pergi bersama-sama.
Sekeras apapun aku berusaha untuk mengerti, aku benar-benar tidak faham apa yang sedang mereka bicarakan dan mengapa mereka semua seperti orang marah.
Sekeras apapun aku berusaha untuk mengerti, aku benar-benar tidak faham apa yang sedang mereka bicarakan dan mengapa mereka semua seperti orang marah.
Usai shalat
magrib dan berdoa, kami semua cium tangan ustadz dan boleh pulang. Tapi ada yang aneh !!
kenapa kami semua juga cium tangan pada teh Iis.
Olala, aku baru tahu. Ternyata, teh Iis dan kakak-kakak yang sudah besar, Selain membantu mengajar merekapun mengaji pada Pak Ustadz, waktunya seusai solat magrib. Berarti, teh Iis tidak pulang Bersama kami.
Olala, aku baru tahu. Ternyata, teh Iis dan kakak-kakak yang sudah besar, Selain membantu mengajar merekapun mengaji pada Pak Ustadz, waktunya seusai solat magrib. Berarti, teh Iis tidak pulang Bersama kami.
Aku jadi
bingung. Tapi teman-teman serempak bergegas meninggalkan mushala. Akhirnya aku
ikut mereka. Yang janggal adalah, mereka berjalan bukan kearah jalan pulang. Tak
ada yang bicara dan suasana terasa tegang.
Di pinggir kebun,
teman-teman berhenti. Mereka sibuk mencari batu dan mengikatkannya pada sarung mereka. Yang sudah selesai mencoba memutar-mutar sarung itu diatas kepala. Tampak seperti
helikopter.
Ada juga yang mencoba menyambitkan sarung ke pepohonan. Buk !! kencang bunyinya sebab pada semua ujung sarung ada batu sebagai pemberat.
Ada juga yang mencoba menyambitkan sarung ke pepohonan. Buk !! kencang bunyinya sebab pada semua ujung sarung ada batu sebagai pemberat.
“ Ade, cepat
lepas sarungnya, jangan bengong aja.” Teriak Imas setengah membentak.
“ eeemh …
untuk apa ?” Aku bingung.
“ Aduh !! Ade
parah nih, ngga ngerti-ngerti. Sarung dan selendang ya buat senjata. Kita mau
tawuran lawan anak-anak RT.04. Bentar lagi kita lewat daerah mereka“ kata Rani
menjelaskan dengan gemas.
“ Tawuran
itu apa ?” Aku tetap bingung.
“ Berantem
Ade, berkelahi. Pukul, tendang, tinju, lempar. Gitu!” Kata Iyan sambil
memperagakan orang berkelahi.
Deg !!! Aku merasa kaget dan takut. Jadi inikah bisik-bisik mereka sejak sore. Ingin rasanya aku
kembali ke Mushala, menunggu Teh Iis selesai mengaji dan pulang bersama teh Iis.
Dengan terpaksa kulepas sarungku. Dan menyerahkannya pada Rani. Tiba tiba Rani tertawa dan
menunjukkan sarung kecilku pada semuanya.
“ Lihat sarung ade, aneh ada karetnya wakakakaaa… “ Rani tertawa sampai keluar air
mata.
“ Haaah ? Terus... dimana kita harus ngikat batunya ya. Bwahahahaha … “ Imas juga tertawa Panjang.
“ Coba aku
lihat. Wahahaha, ini karet lumayan juga, bagus buat ketapel kali ya …” Gurauan
Iyan membuat semua tertawa terpingkal-pingkal.
Aku berdiri
menunduk ditengah tawa teman-temanku. Ada rasa malu
karena ditertawakan. Ada rasa sedih ingat ibu yang repot menyiapkan bajuku. Ada
Rasa takut membayangkan teman-teman akan tawuran melawan anak-anak RT.04. Segala rasa campur aduk.
“ Udah… udah…
nanti bocahnya nangis. Tambah parah pasukan kita.” Rani akhirnya menengahi.
“ Iya, si
Ade mah anak bawang, kita lindungi aja.” Kata-kata Iyan sedikit
melegakanku.
“ Dengan
satu syarat. Ade harus janji, ngga boleh bilang-bilang ke orang dewasa tentang tawuran
ini.” Aang menunjukku.
Aku mengangguk, yang penting aku bisa cepat pulang. Akhirnya sarung dan selendangku dikembalikan padaku.
Aku mengangguk, yang penting aku bisa cepat pulang. Akhirnya sarung dan selendangku dikembalikan padaku.
“ Besok kita harus berusaha membujuk anak-anak RT kita, supaya mau ngaji bareng. Biar pasukan kita tambah banyak dan kuat.” Kudengar Iyan dan Rani mengatur strategi. Semua anak akan melawan anak-anak RT.04 yang menghadang di ujung kebun. Kecuali Imas dan Aang, bertugas mengawalku, agar selamat melewati daerah RT.04.
Aku diajak merunduk
menyusuri selokan yang kering. Kudengar suara bak buk bak buk diantara teriakan
teman-teman.
Ketika akhirnya
sampai di rumah. Kulihat Ibu sudah menungguku dipintu dengan senyumnya yang
lebar. Air mata tiba-tiba sulit kubendung. Satu kalimat yang bisa kuucap
“ Buu … Ade
ngga mau ngaji lagi. “ Ibu memelukku lama sekali. Ada rasa damai dalam
lembutnya usap tangan ibu. Sayang sekali, aku tak bisa bercerita apapun. Aku
sudah berjanji untuk merahasiakan tawuran bersenjata sarung.
*) Bagaimana pengalamanmu saat pertama kali mengaji atau belajar agama ? hehehe ... tuliskan di kolom komentar dibawah ini yaaa ...
**) Baca juga CERITA ADE yang lainnya dengan klik judul dibawah ini
Ibu, Biduan yang Mampu Menghapus Lukisan Seram di Dinding
Ibu, Menyulap Balita Jadi Nenek Nginang
Ibu dan Misteri Delapan Kelinci
Belitung (1) Nenekku di Gantung di Manggar
Belitung (5) Antara Manggar & Tanjung Pandan Kureguk Dua Rindu
*) Bagaimana pengalamanmu saat pertama kali mengaji atau belajar agama ? hehehe ... tuliskan di kolom komentar dibawah ini yaaa ...
**) Baca juga CERITA ADE yang lainnya dengan klik judul dibawah ini
Ibu, Biduan yang Mampu Menghapus Lukisan Seram di Dinding
Ibu, Menyulap Balita Jadi Nenek Nginang
Ibu dan Misteri Delapan Kelinci
Belitung (1) Nenekku di Gantung di Manggar
Belitung (5) Antara Manggar & Tanjung Pandan Kureguk Dua Rindu
***) Ilustrator : IZZU https://www.instagram.com/izzuddindotkom/
Pertama kali ikutan ngaji di pengajian kampung, walah temennya unyil2 semua, anak2 tk dan sd, sementara aku sma sendiri. Tapi bodo amat ah. Yg penting aku belajar dan lancar mengaji.
ReplyDeleteWaaah ... alhamdulillah itu, masih SMA. Banyak juga lho diantara kita yang sudah pensiun baru sempat belajar membaca Al Qur'an dari buku IQRO 1. Memang betul yaa, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Makasih sudah menulis komen disiniii .... hehehe
Delete