Saturday, June 13, 2020

Ayah, Jangan Buang Nasi Berkatku

Ini malam ke empat, Ibu menitipkan aku, untuk belajar ngaji di rumah Pak Haji Rahman. Jaraknya hanya delapan rumah dari rumah kami. Kebetulan putri bungsu pak Haji seumurku. Namanya Ajeng.

Saat Melihatku datang, Ajeng langsung meraih tanganku sambil berbisik.
“ Ade, malam Jum’at ini, anak kecil libur. Sebab orang-orang dewasa mau tahlilan. Kita main boneka aja yuk, di kamarku.”
“ Emh, tahlilan itu apa sih ?” Tanyaku.
“ Itu lho, orang-orang pada ngaji, dzikir, dan sedekah nasi berkat. Terus semua pahalanya dihadiahkan untuk saudara kita yang wafat.” Ajeng menujuk tumpukan besek yaitu kotak nasi terbuat dari anyaman bambu.
Ajeng menuntunku ke kamarnya. Banyak yang kutanyakan pada Ajeng tentang tahlilan dan dijawabnya dengan mudah. Sambil bermain boneka, terkadang mulut Ajeng yang imut, ikut mengucapkan kalimat-kalimat yang dibacakan di ruang tengah.
Lailaha ilallah, La ilaha ilallah. La ilaha ilallah, ala Nabi wa alihi salamullah.

Adzan isya akhirnya berkumandang, ini waktuku untuk pulang. Sebagian orang yang tahlil juga sudah bubar. Ajeng mengantarku sampai di teras. Tiba-tiba bu Haji memanggilku.

“ Ade… ini nasi berkatnya buat Ade. “ Bu Haji menyerahkan besek sambil tersenyum ramah.
“ Terimakasih Bu Haji .” Kataku sekalian berpamitan pulang.

Sepanjang jalan, aroma masakan dari dalam besek menyeruak masuk hidungku. Ingin sekali Aku membuka tutup besek. Tapi khawatir malah tumpah isinya.

Dari kejauhan terlihat ibu sudah menungguku di depan rumah kami. Aku segera berlari menghampirinya.
“ Ibuuu … Ade dikasih ini sama bu Haji.” Aku menyerahkan besek.
“ Ya Allah, pulang ngaji koq bawa nasi berkat toh De. ” Kata ibu sambil tertawa.
“ Buka bu, buka besek-nya. Ade pingin lihat isinya “ kataku sambil meloncat-loncat gembira.

Saat dibuka, aku bersorak dan bertepuk tangan, saking senangnya.
“ Yeaaaaay… !” Aku hampir tak percaya dengan penglihatanku. Besek itu penuh sekali isinya. Nasinya banyak, ditutup dengan ayam bakar potongan besar. Ada sambel goreng kentang ati, bihun goreng, dan sayur. Ada kerupuk udang, sambal dan timun, juga pisang.
“ Aaaah, kapan yaaa terakhir aku makan makanan seenak ini.” Pikirku. Perutku mendadak sangaaat lapar.

Tiba-tiba ayah datang menghampiri kami. Lalu membungkuk didepanku dan berkata lembut.
“ Ade, apakah di rumah Pak Haji Rahman ada acara tahlilan untuk orang mati ?” Tanya ayah.
“ Iya ayah, tadi sih Ajeng bilang, anak kecil libur ngajinya, karena ada tahlilan. Akhirnya aku menemani Ajeng main boneka. Hehe hee.” Jawabku, tak mengerti arah pembicaraan ayah.

“ Apakah Ade tahu, bahwa tahlilan itu adalah bid’ah.” Sorot mata ayah tiba-tiba terasa tajam. 
“ Memangnya bid’ah itu apa, Ayah? “ Aku menyandarkan kepalaku pada bahu ayah, untuk mengatasi kebingungan, saat merasakan perubahan ekspresi ayah.
Bidah itu adalah menambah-nambah urusan dalam ibadah, sehingga tidak sesuai dengan contoh dari Nabi. Jadi bid’ah itu sesat. Dan ujung dari kesesatan adalah neraka.” Dengan tangan kiri ayah merengkuh punggungku, sedangkan tangannya yang kanan, jarinya menunjuk-nunjuk.

Mendengar kata ‘sesat’ dan ‘neraka’ aku kaget. Kutatap wajah ayah.
“ Tapi ayah, Ade lihat mereka cuma ngaji Al Qur’an dan berdzikir bersama-sama. Apakah itu sesat dan membuat mereka semua masuk neraka?” Aku bingung kalau orang ngaji dan dzikir masuk neraka, Lha terus, orang yang ngga ngaji dan ngga dzikir masuk ke mana ya, masuk syurga? 

“ Oke. Ngaji dan dzikirnya baik. Tapi, mereka mengaitkannya pada hari ke-1, ke-7, ke-40, ke-100 dari hari kematian seseorang. Itu bukan cara Islam, tapi cara Hindu. Makanya ayah bilang hal ini bid’ah.” Nada bicaranya terdengar geram.

“ Whaaa... ajaran agama Hindu ?” Aku tercenung tak percaya. Kucoba mengingat penjelasan Ajeng tentang tahlilan adalah ‘ngaji, dzikir dan sedekah yang pahalanya dikirimkan untuk orang yang wafat’.

Ayah menuntunku untuk duduk di depan meja kerjanya.
“ Jadi begini Ade. Zaman dahulu, nenek moyang kita masih beragama Hindu. Datanglah Walisongo untuk mengislamkannya. Nenek moyang mau diajak masuk Islam. Tapi mereka belum bisa meninggalkan kebiasaan kumpul-kumpul, di rumah orang yang sedang kena musibah kematian. Jadi oleh walisongo dibiarkan tetap kumpul, hanya saja acaranya diganti dengan mengaji dan berdzikir. Adapun sekarang, kita yang lahir dari keluarga Islam, masa masih harus pakai cara-cara bid’ah begitu. Mengertikah Ade? Coba tanya kalau ada yang belum faham.” 

“ Eemh Ayaaah. Apakah nenek moyang juga bersedekah makanan, untuk yang hadir dan untuk tetangga-tetangganya ?” Tanyaku.
“ Ya Mungkin saja. Makanya kan jadi budaya hingga hari ini.” 
“ Ayaaah, dihatiku ada rasa cinta pada nenek moyang. Karena mereka itu, saat tertimpa musibah saja malah bersedekah. Apalagi kalau sedang senang ya. Mungkin mereka lebih banyak sedekahnya.” Kataku menerawang.

“ Adeee, membagi makanan memang baik. Tapi budaya begini merepotkan keluarga yang ditinggal mati. Padahal mereka sedang berduka.” Ayah terlihat prihatin.

“ Lho ayah, bagaimana kalau keluarganya ngga merasa direpotkan. Sebab ingin menolong  yang wafat, dengan mengirimkan berbagai pahala ibadah.” Aku menukas.

Yo Ndak bisa Ade. Menurut hadist Nabi Muhammad, semua amal ibadah Anak Adam,  terhenti dengan kematiannya. Kecuali tiga hal, doa anak saleh, ilmu yang diajarkan dan amal jariah. Jadi kalau keluarga dari orang mati bersedekah, ya pahalanya buat keluarganya. Ngga ada itu, amal orang hidup, pahalanya koq dikirim-kirim buat orang mati.”
Ayah bicara sambil menujukkan tiga jarinya.

“ Oh begitu? Berarti membantu bayarin hutangnya orang mati juga ngga perlu dong. Kan tidak termasuk dalam tiga hal ini.” Kuraih tiga jemari ayah yang tadi digunakan untuk menjelaskan hadist.
Sesaat ayah diam dan kulirik ibu menahan tawa. Ayah memang pernah sekian lama membayarkan hutang saudara dekatnya yang sudah wafat.

“ Emh … mungkin berbeda kalau tentang hutang. Nanti ayah pikirkan dulu yaa. Yang penting buat ayah, Ade sekarang sudah tau, bahwa dakwah wali songo itu belum selesai. Walisongo hebat, sudah berhasil mengIslamkan nenek moyang kita di Nusantara ini. Tugas kita sekarang memurnikan ajaran tauhid. Tidak ada urusan kita, dengan acara-acara bid’ah begitu.”

“ Ya ayah.“ Jawabku singkat, sebagai usaha untuk menghentikan diskusi ini.

“ Bagus kalau Ade bisa faham. Sebetulnya ayah kesini, cuma mau ngasih tau Ade, bahwa Kita sekeluarga ngga boleh makan nasi berkat seperti ini. Karena dibagikan dalam acara bid’ah.
Aku tersentak mendengarnya dan reflex menatap ayah.

“ Ih, masa ngga boleh dimakan. Terus buat apa dong. Dibuang?” Tanyaku sambil cemberut.

“ Kalau dibuang Namanya mubadzir, De. Mubadzir itu ikhwanus syaiton, saudaranya setan. Nasi kan bisa buat ayam, lauknya buat kucing, sayurnya buat kambing. Daripada kalau kita makan, kita jadi ikut nanggung dosa bid'ah.” Jawab ayah dengan santai.

“ Jangan Ayaaah, nasi berkat itu sudah dibacakan Al Qur’an dan dzikir diatasnya. Masa buat binatang sih.” Aku tambah kesal.

“ Setumpuk makanan tidak berubah, lantaran dibacakan sesuatu diatasnya.” Ayah tersenyum. Aku berfikir keras untuk mendebatnya.

“ Tapi Kata ibu, kalau makan tidak doa dulu makanannya justru menambah kekuatan setan di badan kita. Kata ibu juga, kalau kita lupa baca doa, terus baru berdoa ditengah-tengah makan, setannya lari sambil nangis karena dia ngga kebagian.” Kulirik Ibu.

“ Oke, lalu apa hubungannya dengan nasi berkat dalam besek?” Desak ayah memintaku menuntaskan pendapat.

“ Kupikir, mungkin cuma setan yang marah dan iri, kalau ada orang yang memakan nasi berkat yang sudah di bacakan Al Qur'an dan dzikir. Karena berarti dia ngga kebagian.” seruku dengan ketus.

Ayah diam menatapku, Lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Aku yakin ayah terlalu cerdas untuk mengerti logikaku. Bahwa menurutku setan berkepentingan mencegah orang untuk makan hidangan yang diberkahi dengan doa dan Bacaan Al Qur'an.

Aku menunduk sambil membayangkan  apa reaksi ayah. Tak tahulah aku, apakah setelah ini ayah masih mengizinkanku untuk ngaji lagi di rumah pak Haji Rahman. Masih bolehkah aku tetap bermain dengan Ajeng.

Ditengah pikiran yang berkecamuk, tiba-tiba ayah mengusap kepalaku.
“ Ade, ayah memperhatikan semua yang Ade katakan. Ade berani dan kritis. Ayah suka.”
Nyeees … tiba-tiba aku merasa tenang dan kekhawatiranku hilang.
“ Makasih ayah.” Aku mulai berani mengangkat wajah.

“ Tapi maaf ya De. Tentang nasi berkat, Ayah tetap tidak bisa membiarkan kita sekeluarga ikut menanggung dosa, gara-gara memakan nasi dari acara bidah.”
Di titik ini, Aku terpaksa bungkam. Aku tak ingin ayah menyangka bahwa aku mendebatnya  demi mempertahankan sebesek nasi berkat.

“ Maafin Ade juga ya ayah. Ade takut, kata-kata Ade bikin ayah marah.” Kataku sambil meraih punggung tangan ayah lalu menciumnya. Senyum ayah mengembang.

“Ngga, ayah ngga marah.”  Digelengkan kepalanya.

“ Eeemh, apakah Ade masih boleh ngaji di rumah pak Haji Rahman ?” Aku perlu bukti bahwa ayah tidak marah.

“ Boleh, Ade boleh berbekal dengan berbagai macam ilmu. Dan ayah akan selalu membuka diri untuk kita bisa diskusi."

Aku memeluk ayah. Mensyukuri bahwa beda pendapat ini, menyisakan ruang padaku untuk menggali pemahaman agama dari sudut yang berbeda-beda.

5 comments:

  1. Melas Si Adeee..... dah kepengen gak dibolehin... :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehe, Iya. Nasib bocah yang berusaha meninjau dogma agama dari orang tua, disandingkan dengan pendapat ulama di tengah masyarakat.

      Delete
  2. Replies
    1. Hai Mimosa, gimana kabar Di Timur sana? Moga sehat semua. makasih sudah mampir di sini.

      Delete
  3. Ayahnya hebat. Sabar. Anaknya cerdas dan berani.

    ReplyDelete