Monday, June 29, 2020

Kegigihan Ibumu Berbuah Sayang Kami Padamu

Di meja ini, Si Mba pernah menghadap padaku, berdiri tertunduk.
“ Bu saya mohon izin mengganggu waktu ibu. Tapi, sebelumnya saya mohon maaf ya bu. selama ini saya sebenarnya merahasiakan sesuatu.” Si Mba yang baru empat bulan kerja dirumahku membuka pembicaraan.

Aku tersenyum memperhatikan wajahnya yang resah. Kutarik kursi supaya dia duduk di dekatku.
“ Ada masalah apa toh mba, coba dibicarakan. Barangkali saya bisa bantu.“ Kataku seramah mungkin untuk menenangkannya.

“ Emmh … Jadi gini bu, sebenarnya saya ini sedang hamil empat bulan. Saya ngga berani bilang terus terang sama ibu, karena takut ngga diperbolehkan kerja lagi di rumah ini.”

“ Ya ampun, padahal lebih baik terus terang. Biar saya bisa bantu jaga kehamilannya.  Apalagi masih hamil muda, kan riskan. Ngga apa-apa koq kalau mau tetap kerja dalam keadaan hamil. Asal Mbanya kuat aja. Jadi kalau terasa cape jangan sungkan istirahat. Kalau sakit ngga apa-apa bolos asal ngasih kabarnya agak pagi.”

“ Iya bu, Makasih. Emmh … tapi ada yang selalu jadi pikiran saya bu. Lima bulan lagi saya melahirkan. Apakah sesudah punya bayi saya masih boleh kerja disini.” Dia menunduk lebih dalam, intonasi bicaranya menunjukkan dia sangat khawatir.

“ Pada dasarnya boleh mba. Mba boleh kerja bawa bayi. Semua berpulang pada kesanggupan mba sendiri nantinya.”

Sejak itu aku bertambah sayang pada perempuan ini. Dalam posisinya sebagai ibu dari tiga anak, dia ingin tetap bekerja meski dalam keadaan hamil anak ke empat.

Aku memahami perjuangannya menambah penghasilan keluarga. Setiap hari suaminya
Keliling dari kampung ke kampung berjualan suatu produk kuliner buatannya sendiri. Biasanya berangkat dari rumah jam 6 pagi, habis ngga habis dagangannya dia harus ada dirumah paling lambat jam 11 siang. Sebab istrinya harus pergi bekerja di rumahku, tanpa membawa anak bungsu mereka yang masih berumur dua setengah tahun.

Aku memang memintanya untuk tidak membawa anak bungsunya ketika kerja dirumahku, sebab rumah kami tiga lantai, banyak tangga. Aku khawatir anaknya jatuh di tangga, saat si Mba lengah.

Mungkin belajar dari kinerja ayah dan ibunya, putri sulung Si Mbak juga bekerja di siang hari sambil sekolah kejar paket C di malam hari. Hal-hal seperti ini yang membuat aku semakin salut pada keluarga ini.


Di meja ini lagi, Si Mba pernah menghampiri aku lagi. Meski tak menunduk, kekhawatiran masih membayang di wajahnya.

“ Bu, mungkin dua minggu lagi saya akan melahirkan. Saya izin cuti 40 hari saja bu. Setelah itu saya berjanji bekerja lagi disini
“ Oh yaa…, boleh mba, boleh. Gimana sanggupnya Mba saja.” Jawabku seramah mungkin, agar dia tenang.
“ Emh ini buuu…, kalau boleh saya usul bu. Selama saya cuti, bolehkah saya saja yang mencarikan orang untuk menggantikan kerjaan saya di rumah ibu. “
“ Siapa kira-kira orangnya?” Kupandangi wajahnya yang menunduk.
“ Saya akan pilih dari saudara-saudara saya sendiri di kampung, Bu. Nanti sebelum saya cuti, akan saya ajak ke rumah ibu untuk saya latih. Begitu, kalau ibu mengizinkan.”
 “ Boleh mba, silahkan diatur saja.” Jawabku

Kemudian mendekati waktu bersalin, dia benar benar melakukan langkah-langkah sesuai yang diusulkan padaku. Akhirnya dia cuti H-2 dari prediksi tanggal lahir.

12 Maret 2020 adalah tanggal kelahiran sang jabang bayi menurut prediksi dokter. Namun sudah lewat belasan hari belum ada tanda-tanda persalinan. Sampai harus dua kali USG.

Di malam Nisyfu Sya’ban, pukul 03.00 pagi, akhirnya aku mendapat kabar bahwa Si Mba sudah melahirkan di rumah bidan. Ajib, Allah swt takdirkan saat kelahirannya pada jam yang kucintai pada malam yang bagiku sangat istimewa.

Bayi itu dinamai Hanin. Selama Mba cuti foto-foto bayinya sering dikirimkan ke HP-ku. Ketika suatu siang, Mba memasuki halaman rumahku dengan payung terkembang demi melindungi bayinya. Trenyuh aku memandangnya lewat jendela. Aku bertekad untuk menyayangi keduanya sebagai keluargaku sendiri.

Kepada anak-anakku, aku sering menjadikan keluarga Mba, sebagai contoh teladan tentang kerja keras dan keuletan dalam menjawab kesulitan hidup. Aku juga meminta seluruh keluargaku menyayangi Mba dan Hanin seperti keluarga sendiri.

Putriku rela kamarnya dipakai untuk Hanin tidur siang. Dalam masa pandemi covid kami sekeluarga belajar dan bekerja dalam satu ruang kerja. Maka di ruang itu juga, aku meletakan Kasur kecil untuk Hanin bermain, tepat ditengah-tengah ruangan. Sehingga kalau dia menangis kami bergantian mengajak dia bermain dan bicara. Hanya kalau lapar Ibunya membawa dia ke kamar untuk disusui. Setiap pukul 5 sore Hanin dan ibunya pulang diantar dengan sepeda motor oleh seorang putraku.

Aku bersyukur berkat Hanin, ada jam rutin dimana aku akan membacakan Al Quran untuknya. Aku juga membacakan berbagai senandung shalawat saat menidurkannya. Hanin temanku membaca buku, ataupun kerja di laptop.

Begitulah Hanin menghiasai hari-hari kami. Memberi lebih banyak tawa dan ceria di dalam rumah. Terima kasih Hanin, kami semua sayang padamu.

Catatan : 
Baca juga Serial KISAH ADE berlatar keluarga miskin yang ceria. Namun 'Ade' si bungsu sering mempertanyakan doktrin keagamaan yang ditanamkan ayahnya.

Serial pertama KISAH ADE adalah Pancalogi Belitung, dimulai dari
Belitung (1) Nenekku di Gantung di Manggar sampai seri terakhirnya dengan judul
Belitung (5) Antara Manggar & Tanjung Pandan Kureguk Dua Rindu

Sedangkan Serial kedua KISAH ADE adalah Tetralogi IBU silahkan klik judul berikut

Teman-teman yang sudah mampir ke blog saya, silahkan tinggalkan komentar pada kolom dibawah yaa. Makasiiih ...

Saturday, June 13, 2020

Ayah, Jangan Buang Nasi Berkatku

Ini malam ke empat, Ibu menitipkan aku, untuk belajar ngaji di rumah Pak Haji Rahman. Jaraknya hanya delapan rumah dari rumah kami. Kebetulan putri bungsu pak Haji seumurku. Namanya Ajeng.

Saat Melihatku datang, Ajeng langsung meraih tanganku sambil berbisik.
“ Ade, malam Jum’at ini, anak kecil libur. Sebab orang-orang dewasa mau tahlilan. Kita main boneka aja yuk, di kamarku.”
“ Emh, tahlilan itu apa sih ?” Tanyaku.
“ Itu lho, orang-orang pada ngaji, dzikir, dan sedekah nasi berkat. Terus semua pahalanya dihadiahkan untuk saudara kita yang wafat.” Ajeng menujuk tumpukan besek yaitu kotak nasi terbuat dari anyaman bambu.
Ajeng menuntunku ke kamarnya. Banyak yang kutanyakan pada Ajeng tentang tahlilan dan dijawabnya dengan mudah. Sambil bermain boneka, terkadang mulut Ajeng yang imut, ikut mengucapkan kalimat-kalimat yang dibacakan di ruang tengah.
Lailaha ilallah, La ilaha ilallah. La ilaha ilallah, ala Nabi wa alihi salamullah.

Adzan isya akhirnya berkumandang, ini waktuku untuk pulang. Sebagian orang yang tahlil juga sudah bubar. Ajeng mengantarku sampai di teras. Tiba-tiba bu Haji memanggilku.

“ Ade… ini nasi berkatnya buat Ade. “ Bu Haji menyerahkan besek sambil tersenyum ramah.
“ Terimakasih Bu Haji .” Kataku sekalian berpamitan pulang.

Sepanjang jalan, aroma masakan dari dalam besek menyeruak masuk hidungku. Ingin sekali Aku membuka tutup besek. Tapi khawatir malah tumpah isinya.

Dari kejauhan terlihat ibu sudah menungguku di depan rumah kami. Aku segera berlari menghampirinya.
“ Ibuuu … Ade dikasih ini sama bu Haji.” Aku menyerahkan besek.
“ Ya Allah, pulang ngaji koq bawa nasi berkat toh De. ” Kata ibu sambil tertawa.
“ Buka bu, buka besek-nya. Ade pingin lihat isinya “ kataku sambil meloncat-loncat gembira.

Saat dibuka, aku bersorak dan bertepuk tangan, saking senangnya.
“ Yeaaaaay… !” Aku hampir tak percaya dengan penglihatanku. Besek itu penuh sekali isinya. Nasinya banyak, ditutup dengan ayam bakar potongan besar. Ada sambel goreng kentang ati, bihun goreng, dan sayur. Ada kerupuk udang, sambal dan timun, juga pisang.
“ Aaaah, kapan yaaa terakhir aku makan makanan seenak ini.” Pikirku. Perutku mendadak sangaaat lapar.

Tiba-tiba ayah datang menghampiri kami. Lalu membungkuk didepanku dan berkata lembut.
“ Ade, apakah di rumah Pak Haji Rahman ada acara tahlilan untuk orang mati ?” Tanya ayah.
“ Iya ayah, tadi sih Ajeng bilang, anak kecil libur ngajinya, karena ada tahlilan. Akhirnya aku menemani Ajeng main boneka. Hehe hee.” Jawabku, tak mengerti arah pembicaraan ayah.

“ Apakah Ade tahu, bahwa tahlilan itu adalah bid’ah.” Sorot mata ayah tiba-tiba terasa tajam. 
“ Memangnya bid’ah itu apa, Ayah? “ Aku menyandarkan kepalaku pada bahu ayah, untuk mengatasi kebingungan, saat merasakan perubahan ekspresi ayah.
Bidah itu adalah menambah-nambah urusan dalam ibadah, sehingga tidak sesuai dengan contoh dari Nabi. Jadi bid’ah itu sesat. Dan ujung dari kesesatan adalah neraka.” Dengan tangan kiri ayah merengkuh punggungku, sedangkan tangannya yang kanan, jarinya menunjuk-nunjuk.

Mendengar kata ‘sesat’ dan ‘neraka’ aku kaget. Kutatap wajah ayah.
“ Tapi ayah, Ade lihat mereka cuma ngaji Al Qur’an dan berdzikir bersama-sama. Apakah itu sesat dan membuat mereka semua masuk neraka?” Aku bingung kalau orang ngaji dan dzikir masuk neraka, Lha terus, orang yang ngga ngaji dan ngga dzikir masuk ke mana ya, masuk syurga? 

“ Oke. Ngaji dan dzikirnya baik. Tapi, mereka mengaitkannya pada hari ke-1, ke-7, ke-40, ke-100 dari hari kematian seseorang. Itu bukan cara Islam, tapi cara Hindu. Makanya ayah bilang hal ini bid’ah.” Nada bicaranya terdengar geram.

“ Whaaa... ajaran agama Hindu ?” Aku tercenung tak percaya. Kucoba mengingat penjelasan Ajeng tentang tahlilan adalah ‘ngaji, dzikir dan sedekah yang pahalanya dikirimkan untuk orang yang wafat’.

Ayah menuntunku untuk duduk di depan meja kerjanya.
“ Jadi begini Ade. Zaman dahulu, nenek moyang kita masih beragama Hindu. Datanglah Walisongo untuk mengislamkannya. Nenek moyang mau diajak masuk Islam. Tapi mereka belum bisa meninggalkan kebiasaan kumpul-kumpul, di rumah orang yang sedang kena musibah kematian. Jadi oleh walisongo dibiarkan tetap kumpul, hanya saja acaranya diganti dengan mengaji dan berdzikir. Adapun sekarang, kita yang lahir dari keluarga Islam, masa masih harus pakai cara-cara bid’ah begitu. Mengertikah Ade? Coba tanya kalau ada yang belum faham.” 

“ Eemh Ayaaah. Apakah nenek moyang juga bersedekah makanan, untuk yang hadir dan untuk tetangga-tetangganya ?” Tanyaku.
“ Ya Mungkin saja. Makanya kan jadi budaya hingga hari ini.” 
“ Ayaaah, dihatiku ada rasa cinta pada nenek moyang. Karena mereka itu, saat tertimpa musibah saja malah bersedekah. Apalagi kalau sedang senang ya. Mungkin mereka lebih banyak sedekahnya.” Kataku menerawang.

“ Adeee, membagi makanan memang baik. Tapi budaya begini merepotkan keluarga yang ditinggal mati. Padahal mereka sedang berduka.” Ayah terlihat prihatin.

“ Lho ayah, bagaimana kalau keluarganya ngga merasa direpotkan. Sebab ingin menolong  yang wafat, dengan mengirimkan berbagai pahala ibadah.” Aku menukas.

Yo Ndak bisa Ade. Menurut hadist Nabi Muhammad, semua amal ibadah Anak Adam,  terhenti dengan kematiannya. Kecuali tiga hal, doa anak saleh, ilmu yang diajarkan dan amal jariah. Jadi kalau keluarga dari orang mati bersedekah, ya pahalanya buat keluarganya. Ngga ada itu, amal orang hidup, pahalanya koq dikirim-kirim buat orang mati.”
Ayah bicara sambil menujukkan tiga jarinya.

“ Oh begitu? Berarti membantu bayarin hutangnya orang mati juga ngga perlu dong. Kan tidak termasuk dalam tiga hal ini.” Kuraih tiga jemari ayah yang tadi digunakan untuk menjelaskan hadist.
Sesaat ayah diam dan kulirik ibu menahan tawa. Ayah memang pernah sekian lama membayarkan hutang saudara dekatnya yang sudah wafat.

“ Emh … mungkin berbeda kalau tentang hutang. Nanti ayah pikirkan dulu yaa. Yang penting buat ayah, Ade sekarang sudah tau, bahwa dakwah wali songo itu belum selesai. Walisongo hebat, sudah berhasil mengIslamkan nenek moyang kita di Nusantara ini. Tugas kita sekarang memurnikan ajaran tauhid. Tidak ada urusan kita, dengan acara-acara bid’ah begitu.”

“ Ya ayah.“ Jawabku singkat, sebagai usaha untuk menghentikan diskusi ini.

“ Bagus kalau Ade bisa faham. Sebetulnya ayah kesini, cuma mau ngasih tau Ade, bahwa Kita sekeluarga ngga boleh makan nasi berkat seperti ini. Karena dibagikan dalam acara bid’ah.
Aku tersentak mendengarnya dan reflex menatap ayah.

“ Ih, masa ngga boleh dimakan. Terus buat apa dong. Dibuang?” Tanyaku sambil cemberut.

“ Kalau dibuang Namanya mubadzir, De. Mubadzir itu ikhwanus syaiton, saudaranya setan. Nasi kan bisa buat ayam, lauknya buat kucing, sayurnya buat kambing. Daripada kalau kita makan, kita jadi ikut nanggung dosa bid'ah.” Jawab ayah dengan santai.

“ Jangan Ayaaah, nasi berkat itu sudah dibacakan Al Qur’an dan dzikir diatasnya. Masa buat binatang sih.” Aku tambah kesal.

“ Setumpuk makanan tidak berubah, lantaran dibacakan sesuatu diatasnya.” Ayah tersenyum. Aku berfikir keras untuk mendebatnya.

“ Tapi Kata ibu, kalau makan tidak doa dulu makanannya justru menambah kekuatan setan di badan kita. Kata ibu juga, kalau kita lupa baca doa, terus baru berdoa ditengah-tengah makan, setannya lari sambil nangis karena dia ngga kebagian.” Kulirik Ibu.

“ Oke, lalu apa hubungannya dengan nasi berkat dalam besek?” Desak ayah memintaku menuntaskan pendapat.

“ Kupikir, mungkin cuma setan yang marah dan iri, kalau ada orang yang memakan nasi berkat yang sudah di bacakan Al Qur'an dan dzikir. Karena berarti dia ngga kebagian.” seruku dengan ketus.

Ayah diam menatapku, Lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Aku yakin ayah terlalu cerdas untuk mengerti logikaku. Bahwa menurutku setan berkepentingan mencegah orang untuk makan hidangan yang diberkahi dengan doa dan Bacaan Al Qur'an.

Aku menunduk sambil membayangkan  apa reaksi ayah. Tak tahulah aku, apakah setelah ini ayah masih mengizinkanku untuk ngaji lagi di rumah pak Haji Rahman. Masih bolehkah aku tetap bermain dengan Ajeng.

Ditengah pikiran yang berkecamuk, tiba-tiba ayah mengusap kepalaku.
“ Ade, ayah memperhatikan semua yang Ade katakan. Ade berani dan kritis. Ayah suka.”
Nyeees … tiba-tiba aku merasa tenang dan kekhawatiranku hilang.
“ Makasih ayah.” Aku mulai berani mengangkat wajah.

“ Tapi maaf ya De. Tentang nasi berkat, Ayah tetap tidak bisa membiarkan kita sekeluarga ikut menanggung dosa, gara-gara memakan nasi dari acara bidah.”
Di titik ini, Aku terpaksa bungkam. Aku tak ingin ayah menyangka bahwa aku mendebatnya  demi mempertahankan sebesek nasi berkat.

“ Maafin Ade juga ya ayah. Ade takut, kata-kata Ade bikin ayah marah.” Kataku sambil meraih punggung tangan ayah lalu menciumnya. Senyum ayah mengembang.

“Ngga, ayah ngga marah.”  Digelengkan kepalanya.

“ Eeemh, apakah Ade masih boleh ngaji di rumah pak Haji Rahman ?” Aku perlu bukti bahwa ayah tidak marah.

“ Boleh, Ade boleh berbekal dengan berbagai macam ilmu. Dan ayah akan selalu membuka diri untuk kita bisa diskusi."

Aku memeluk ayah. Mensyukuri bahwa beda pendapat ini, menyisakan ruang padaku untuk menggali pemahaman agama dari sudut yang berbeda-beda.