Belitung adalah tentang keresahanku atas buah dari kesetiaan dan pengorbanan nenek.
“ Anakku … duduklah tegak saat belajar. Jangan baca sambil tengkurep begitu. Nanti cepat cape dan mata rusak .” Ayah menasehatiku dengan tatapan gusar.
“ Tapi ayah,
aku justru focus belajar kalau sambil berguling guling begini. Yang penting kan
besok ulangan aku bisa jawab semua. Dan rapot semester ini nilai-nilaiku bagus.”
Aku coba beralasan.
“ Duduklah
seperti ayah, dan dapatkan nilai seperti ayah dulu sekolah. “
Diambilnya Map
biru dan ditunjukkan padaku beberapa izazah … Tebakanku, pasti nilai ayah yang
belajar dengan rapi di meja, lebih bagus dari aku, yang belajarnya sambil tiduran. Akupun enggan
memeriksa nilainya, dan sengaja mengalihkan thema pembicaraan ke foto yang
tertempel di ijazah.
“ Yeeaaay ….
ayah cakep banget waktu muda. Ayah mirip kakek atau mirip Nenek ?”
“ Mirip
dua-duanya … “ Jawab ayah dengan sabar menghadapi tingkahku
Aku minta lihat
foto kakek. Ayah meraih album lawas, zaman Belanda. Sampulnya tebal berlapis
kain batik, sedangkan dalamnya lembaran kertas hitam. Foto-foto hitam putih tersusun
indah ditempel permanen dengan lem.
Aku perhatikan
foto-foto kakek, dalam seragam militer ataupun berkain sarung dan kemeja rapi. Di
zaman Belanda, tentunya tidak banyak orang bisa berfoto dan memiliki album
foto.
Aku
bandingkankan wajah ayah dan kakek. Menurutku ayah hanya sedikit mirip kakek. Ayah
sangat tampan, kulitnya putih, garis wajahnya lembut. Kakek berkulit coklat
terbakar matahari, dengan garis wajah yang terasa tegas dan garang.
“ Ayah aku
mau lihat foto nenek dong. Nenek Fatimah pasti cantiknya banget-bangetan yaaa …
“ Pintaku.
“ Tidak ada
foto nenek. “ Jawab ayah pendek.
“ Yaaah ...., aku
kecewa dong. Masa foto kakek sebanyak ini. Tapi foto nenek ngga ada satupun. Ini
sebenernya tidak ada atau ditiadakan yaaa ?” Aku mulai usil sambil merengut.
“ Kakek
ditarik ke pusat di Batavia, kami anak-anaknya dibawa serta. Tapi tak lama setelah
itu kakek dikirimkan untuk bertugas di Bandung Selatan. Aku dan adik
perempuanku tetap sekolah di Jakarta.”
“ Oh
Tuhaaan … Nenek ditinggal sendiri di pulau sebrang ? Apakah ayah dan kakek
pernah menziarahi nenek ?” Aku terkejut dan sedih.
Aku mengangguk, tak asing dengan ajaran yg sejak kecil di dogma-kan padaku. Walau tak urung aku bergumam.
“ Oh gitu
yaaa, kalau sudah nikah, dibawa suami … mati di pulau sebrang, ya udah
ditinggalin disitu, sendirian dan dilupakan.”
“ Anakku … kita
tadi mau lihat nilai raport ayah. Supaya kamu percaya bahwa cara duduk yang baik
dan benar saat belajar, adalah hal penting dan berpengaruh pada prestasimu. Kamu
adalah saksi, bahwa ayah selalu duduk tegak saat membaca dan menulis.”
“ Oke …
okee “ jawabku tersenyum sambil menutup wajah, karena ayah balik lagi membahas tegurannya
untukku.
Melihat
nilai-nilainya aku menyerah. Ayah sekolah bersama anak-anak Belanda. Masa SD
diselesaikan di kelas akselerasi, hanya 5 tahun dari seharusnya 6 tahun.
Lulus SMP
dan SMA dengan nilai jauh melebihi nilai anak-anak Belanda. Pada saat itu
secara umum masyarakat pribumi hanya sekolah sampai kelas 4 SD atau disebut Sekolah
Rakyat.
Aku sekali
lagi modus memecah focus ayah.
“ Aduh
aduuuh …. ayah pinter banget sih waktu sekolaaah ! Sayang sekali, nenek ga bisa
lihat raport dan ijazah ayah. Kalau sudah besar aku ingin membawa rapot dan
ijazah ayah ke makam nenek, agar nenek senang.”
“ Ooooh
tidak Nak, jangan mulai lagi ya. Ayah sudah bilang berkali kali, terputus amal
anak Adam, sesudah kematiannya. Kecuali : doa anak shaleh, ilmu yg terus
bergulir dan amal jariah. Jangan berfikir dan bertindak yang bersifat takhayul,
Khurafat dan bid’ah. “
“ Baik ayaaah
… kalau begitu, aku sekarang lebih ingin jadi anak shaleh, daripada jadi anak
pintar yang nilai raport dan ijazahnya bagus. sebab anak shaleh masih terhubung dengan orang tua yang wafat meski cuma doa. Sedangkan buat anak pintar, nilai-nilai rapor dan Ijazah yang bagus tidak
bisa ditunjukkan pada orang tua yang sudah wafat. “ Kataku bersungut.
Ayah
menarik nafas panjang, dan duduk terhenyak di kursi kerjanya. Dia menatapku sambil mengurut-urut keningnya yang luas. Kalau
sudah seperti itu Ibu segera turun tangan mengamankan situasi dengan
memanggilku ke dapur, sekedar untuk menikmati kue-kue buatan ibu.
Kugigit kue
sambil tetap merasa tak puas. Akuuu … tetap merasa ada kejanggalan. Ada semacam
ketidak-adilan, atas sebuah pengorbanan seorang wanita, dalam posisinya sebagai istri dan
ibu. Hanya sebegitukah balasan dari kesetiaan nenek menemani kakek hingga ke pulau sebrang, tercerabut dari keluarga yang menyayangi dan mencintainya? Hanya sebegitukan buah dari pengorbanan nenek memberikan keturunan untuk kakek hingga wafat sesaat setelah melahirkan anak ketiga ?
Dan sayangnya, aku melihat dari ajaran ayah, agamapun tak berpihak untuk menghargai pengorbanan nenek.
Dan sayangnya, aku melihat dari ajaran ayah, agamapun tak berpihak untuk menghargai pengorbanan nenek.
Catatan :
Teman-teman, Baca juga kisahku selanjutnya tentang belitung dengan klik judul di bawah ini
Belitung (3) Dia Tetap Hidup Mendapat Rezeki Di Sisi Tuhan
Belitung (4) Gantung, Rinduku Tak Bersambut
Belitung (5) Antara Manggar & Tanjung Pandan Kureguk Dua Rindu
Sedangkan jika teman-teman belum membaca awal ceritanya silahkan klik judul di bawah ini
Belitung (1) Nenekku Di Gantung Di Manggar
Sedih...😥..
ReplyDeleteJadi sebenarnya nenek Fathimah berasal dari mana bu ?
Makasih sudah mampir disini Mimosa, ikuti terus ceritanya yaaa ... kita akan buka perlahan-lahan insya Allah ... heheee ...
DeleteOhh mbah buyut ternyata kerjanya pindah2 toh.. tp tetep pengen ke belitung deh 😆😆
ReplyDeleteIya betul Teguh, sesuai tugas aja. Insya Allah kami sekeluarga secepatnya kesana.
DeleteMakin penasaraaan... lanjutannya buu... 🤩
ReplyDeleteOh siaaap ... Makasih yaaa responnya. Kisah selanjutnya masih dalam proses, insya Allah segera publish yaaa
Delete