Sunday, July 7, 2019

Belitung (2) Akan Kupamerkan Rapor & Ijazah Ayah Pada Nenek

Belitung adalah tentang keresahanku atas buah dari kesetiaan dan pengorbanan nenek.


“ Anakku … duduklah tegak saat belajar. Jangan baca sambil tengkurep begitu. Nanti cepat cape dan mata rusak .” Ayah menasehatiku dengan tatapan gusar.

“ Tapi ayah, aku justru focus belajar kalau sambil berguling guling begini. Yang penting kan besok ulangan aku bisa jawab semua. Dan rapot semester ini nilai-nilaiku bagus.” Aku coba beralasan.

“ Duduklah seperti ayah, dan dapatkan nilai seperti ayah dulu sekolah. “
Diambilnya Map biru dan ditunjukkan padaku beberapa izazah … Tebakanku, pasti nilai ayah yang belajar dengan rapi di meja, lebih bagus dari aku, yang belajarnya sambil tiduran. Akupun enggan memeriksa nilainya, dan sengaja mengalihkan thema pembicaraan ke foto yang tertempel di ijazah.

“ Yeeaaay …. ayah cakep banget waktu muda. Ayah mirip kakek atau mirip Nenek ?”
“ Mirip dua-duanya … “ Jawab ayah dengan sabar menghadapi tingkahku

Aku minta lihat foto kakek. Ayah meraih album lawas, zaman Belanda. Sampulnya tebal berlapis kain batik, sedangkan dalamnya lembaran kertas hitam. Foto-foto hitam putih tersusun indah ditempel permanen dengan lem.
Aku perhatikan foto-foto kakek, dalam seragam militer ataupun berkain sarung dan kemeja rapi. Di zaman Belanda, tentunya tidak banyak orang bisa berfoto dan memiliki album foto.

Aku bandingkankan wajah ayah dan kakek. Menurutku ayah hanya sedikit mirip kakek. Ayah sangat tampan, kulitnya putih, garis wajahnya lembut. Kakek berkulit coklat terbakar matahari, dengan garis wajah yang terasa tegas dan garang.

“ Ayah aku mau lihat foto nenek dong. Nenek Fatimah pasti cantiknya banget-bangetan yaaa … “ Pintaku.
“ Tidak ada foto nenek. “ Jawab ayah pendek.
“ Yaaah ...., aku kecewa dong. Masa foto kakek sebanyak ini. Tapi foto nenek ngga ada satupun. Ini sebenernya tidak ada atau ditiadakan yaaa ?” Aku mulai usil sambil merengut.

“ Nenekmu wafat pada usia muda, saat dibawa kakekmu bertugas ke pulau Belitung. Dan dimakamkan di sana. Kakekmu kan profesinya polisi, sering harus berpindah-pindah tempat. Pernah ke Pulau Buru, ke Irian, Aceh, dan lain-lain. ” Jawab ayah.

“ Lha terus, bagaimana ceritanya setelah nenek wafat ? Apa kakek bertahan di Belitung, atau pindah lagi ?” Aku masih penasaran.

“ Kakek ditarik ke pusat di Batavia, kami anak-anaknya dibawa serta. Tapi tak lama setelah itu kakek dikirimkan untuk bertugas di Bandung Selatan. Aku dan adik perempuanku tetap sekolah di Jakarta.”

“ Oh Tuhaaan … Nenek ditinggal sendiri di pulau sebrang ? Apakah ayah dan kakek pernah menziarahi nenek ?” Aku terkejut dan sedih.

“ Sudahlah Nak … kewajiban kita kepada jenazah kan hanya memandikan, mengkafani, menyolatkan, menguburkan. Tidak ada itu ziarah ziarah. Kalau mau mendoakan almarhumah dimanapun tempatnya sama saja. “

Aku mengangguk, tak asing dengan ajaran yg sejak kecil di dogma-kan padaku. Walau  tak urung aku bergumam.
“ Oh gitu yaaa, kalau sudah nikah, dibawa suami … mati di pulau sebrang, ya udah ditinggalin disitu, sendirian dan dilupakan.”

“ Anakku … kita tadi mau lihat nilai raport ayah. Supaya kamu percaya bahwa cara duduk yang baik dan benar saat belajar, adalah hal penting dan berpengaruh pada prestasimu. Kamu adalah saksi, bahwa ayah selalu duduk tegak saat membaca dan menulis.”

“ Oke … okee “ jawabku tersenyum sambil menutup wajah, karena ayah balik lagi membahas tegurannya untukku.

Melihat nilai-nilainya aku menyerah. Ayah sekolah bersama anak-anak Belanda. Masa SD diselesaikan di kelas akselerasi, hanya 5 tahun dari seharusnya 6 tahun.
Lulus SMP dan SMA dengan nilai jauh melebihi nilai anak-anak Belanda. Pada saat itu secara umum masyarakat pribumi hanya sekolah sampai kelas 4 SD atau disebut Sekolah Rakyat.

Aku sekali lagi modus memecah focus ayah.

“ Aduh aduuuh …. ayah pinter banget sih waktu sekolaaah ! Sayang sekali, nenek ga bisa lihat raport dan ijazah ayah. Kalau sudah besar aku ingin membawa rapot dan ijazah ayah ke makam nenek, agar nenek senang.”

“ Ooooh tidak Nak, jangan mulai lagi ya. Ayah sudah bilang berkali kali, terputus amal anak Adam, sesudah kematiannya. Kecuali : doa anak shaleh, ilmu yg terus bergulir dan amal jariah. Jangan berfikir dan bertindak yang bersifat takhayul, Khurafat dan bid’ah. “

“ Baik ayaaah … kalau begitu, aku sekarang lebih ingin jadi anak shaleh, daripada jadi anak pintar yang nilai raport dan ijazahnya bagus. sebab anak shaleh masih terhubung dengan orang tua yang wafat meski cuma doa. Sedangkan buat anak pintar, nilai-nilai rapor dan Ijazah yang bagus tidak bisa ditunjukkan pada orang tua yang sudah wafat. “ Kataku bersungut.

Ayah menarik nafas panjang, dan duduk terhenyak di kursi kerjanya. Dia menatapku sambil mengurut-urut keningnya yang luas. Kalau sudah seperti itu Ibu segera turun tangan mengamankan situasi dengan memanggilku ke dapur, sekedar untuk menikmati kue-kue buatan ibu.

Kugigit kue sambil tetap merasa tak puas. Akuuu … tetap merasa ada kejanggalan. Ada semacam ketidak-adilan, atas sebuah pengorbanan seorang wanita, dalam posisinya sebagai istri dan ibu. Hanya sebegitukah balasan dari kesetiaan nenek menemani kakek hingga ke pulau sebrang, tercerabut dari keluarga yang menyayangi dan mencintainya? Hanya sebegitukan buah dari pengorbanan nenek memberikan keturunan untuk kakek hingga wafat sesaat setelah melahirkan anak ketiga ? 
Dan sayangnya, aku melihat dari ajaran ayah, agamapun tak berpihak untuk menghargai pengorbanan nenek. 

Tuhan ampuni aku jika aku salah dalam berfikir. Tapi aku rindu Nenekku yang malang, nun jauh di pulau sebrang. Yang seolah terbuang di negri orang. 

   Catatan :

Teman-teman, Baca juga kisahku selanjutnya tentang belitung dengan klik judul di bawah ini
Belitung (3) Dia Tetap Hidup Mendapat Rezeki Di Sisi Tuhan
Belitung (4) Gantung, Rinduku Tak Bersambut
Belitung (5) Antara Manggar & Tanjung Pandan Kureguk Dua Rindu

Sedangkan jika teman-teman belum membaca awal ceritanya silahkan klik judul di bawah ini
Belitung (1) Nenekku Di Gantung Di Manggar 

6 comments:

  1. Sedih...😥..
    Jadi sebenarnya nenek Fathimah berasal dari mana bu ?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih sudah mampir disini Mimosa, ikuti terus ceritanya yaaa ... kita akan buka perlahan-lahan insya Allah ... heheee ...

      Delete
  2. Ohh mbah buyut ternyata kerjanya pindah2 toh.. tp tetep pengen ke belitung deh 😆😆

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya betul Teguh, sesuai tugas aja. Insya Allah kami sekeluarga secepatnya kesana.

      Delete
  3. Makin penasaraaan... lanjutannya buu... 🤩

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oh siaaap ... Makasih yaaa responnya. Kisah selanjutnya masih dalam proses, insya Allah segera publish yaaa

      Delete