Tuesday, July 16, 2019

Belitung (4) Gantung, Rinduku Tak Bersambut


Belitung, adalah tentang beningnya air, birunya langit dan alang-alang liar yang dulu pernah ditatap nenek


Rasanya tak percaya, pada akhirnya kujejakan kakiku di Tanjung Pandan, Belitung. Ini kota kelahiran ayah dan kedua adiknya. Aku memang baru berani ke Belitung setelah ayah wafat. Masih terngiang ditelingaku pesan ayah,
“ Kalau ayah nanti mati, jangan kalian ziarahi aku dan memohon-mohon pada kuburanku.”

Kalau sudah begitu , cukup dengan senyum nakal aku menjawab,
“ Aku janji deh tidak akan ziarah ayah. Tapi aku akan ziarahi Ibu. Masalahnya, ibu sudah sering titip amanah, kelak makam ibu dan ayah harus tepat bersebelahan. Jadi maaf yaa kalau nanti ziarah ibu, otomatis ngga sengaja ziarah ayah juga kan. Dan aku janji ga akan memohon atau meminta apa-apa pada kuburan. Toh minta tolong sama orang hidup jauh lebih mudah dan bermanfaat.”

Begitulah … ayah selalu mengaitkan istilah ziarah dengan memohon pada kuburan, atau meminta pada orang mati. Padahal aku perhatikan orang-orang yg ziarah justru mendoakan orang-orang tercinta yg sudah wafat, di kuburannya.

Aku tak ingin debat panjang dengan ayah apalagi pada masa tuanya. Untungnya aku, seumur hidup belum pernah mendengar ayah, secara langsung melarangku ziarah nenek Fatimah. 

Sekarang, aku sengaja membawa keluargaku ke Belitung, menapak-tilas sejarah leluhurnya. Berharap mereka selalu ingat, ayahku lahir di Tanjung Pandan dan nenekku wafat di Gantung- Manggar.

Berangkat dari Jakarta dengan pesawat pukul 05.55, tiba di Bandara Hanandjoedin – Tanjung Pandan pukul 07.00. Mas Yudha, Driver Hotel sudah siap menjemput kami. Barang2 di drop di Lugage hotel sebab check-in masih lama, jam 13.00.

“ Kemana kita bu ?” tanya Mas Yudha.
“ Cari sarapan makanan khas Belitung di Tanjung Pandan.  Sesudah itu langsung ke Gantung dan Manggar.” Jawabku.

Perjalanan menuju Rumah Makan, melewati Rumah Sakit Tua yang sekarang sudah tidak dipakai. Mataku nanar membayangkan nenek, tentunya pernah dibawa kesana, untuk melahirkan ayah.

Sambil menyantap sepiring Mie Belitung dan secangkir Es jeruk kunci, aku bingung, masih tak punya jawaban kalau Mas Yudha bertanya lebih spesifik, ke Gantung dan ke Manggar itu ke mana-nya? Sebab Gantung adalah nama kecamatan di kabupaten Manggar. Sedangkan Manggar sendiri adalah nama ibukota Belitung Timur.

Untung Mas Yudha tak banyak bertanya. Selesai sarapan langsung saja memacu mobil ke ujung Timur pulau Belitung. Lebih dari satu jam perjalanan kami sampai di percabangan jalan arah ke Gantung dan ke Manggar.

“ Ibu Ingin ke gantung dulu atau ke Manggar dulu ?” Tanya Mas Yudha sopan
“ Emmh … Gantung … “ Jawabku asal saja. Aku sedang terpana, di percabangan itu ada pemakaman tua dan tidak terurus. Ingatanku langsung tertuju pada Nenek Fatimah. Tapi aku tak punya alasan untuk berhenti dan memeriksa makam satu demi satu. Sedikitpun aku tak tahu di pemakaman mana sebenarnya terdapat makam nenek Fatimah.

Mobil melaju ke arah Gantung, berhenti di SD Muhammadiyah Laskar pelangi. Mas Yudha mengantar aku ke spot-spot yang biasa di datangi tourist domestik.

Disitu aku temukan murid-murid duduk manis di kelas, tanpa seorang guru. dan aku membuka dialog dengan mereka. Ternyata umumnya mereka sangat lugu, sulit menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mudah dan umum. Yang aku kagum adalah mereka aktif dan mencoba terus untuk menjawab pertanyaan walau berulang kali salah. Aku sungguh suka karakter itu.

Di luar kelas, kutemukan tiga murid yang tidak mau masuk kelas. Mereka melumuri tubuhnya dengan tanah dan membawa daun untuk properti menari. Menyenangkan berdialog dan bergurau dengan mereka.

Kenanganku kembali pada ayah. Dulu ayah adalah orang pertama yang membuka sekolah Muhammadiyah di kota Gombong Jawa Tengah. Habis perhiasan Ibu untuk membiayai pendidikan murid-murid ayah. Mereka menginap dan makan gratis, diprivat kelas akselerasi, diberi buku-buku. Guru bukan dibayar, tapi membiayai murid. Itu hal yang lumrah zaman dulu.

Puas berkunjung di SD laskar pelangi aku singgah ke tepi danau. Visualnya sangat instagramable. Berhias rumah keong terbuat dari rotan. Beberapa perahu bersandar di dermaga-nya.

Kutatap alang-alang yang tumbuh di tepi danau. Air jerih dan langit biru. Segenap hatiku berteriak dalam dada, 

"Hai alang alang liar ... Kabarkan padaku dimana kubur nenek ?
untuk kutumpahkan rindu yang terpendam sejak masa kecilku 
Duh danau yang indah … Pernahkah nenek memandangmu? 
Tunjukkan tempat nenek berdiri dahulu, biar kuulang lagi adegan itu!
Wahai semilir angin, bukankah engkau pernah membelai selendang nenek?
lihat Ini jilbabku sudah basah dengan air mata cinta.
Aaargh ... langit biru, engkau kah yang dahulu sering ditatap nenek? 
Coba jelaskan dengan wajah semanis apakah nenek memandangmu ?
Lihatlah aku sekarang berdiri disini dalam tangisan rindu yang tak bersambut." 

Aku terisak-isak sendirian. Adzan duhur beriring tabuhan beduk. 
Ya, setengah hariku di Belitung, masih tersisa segenggam optimis hari ini akan ada petunjuk tentang nenek.

   Catatan :

Simak akhir dari  kisah pencarian jejak nenek di Belitung dalam judul :

4 comments:

  1. Uhuk uhuk ...
    Jadi ikutan sedih

    ReplyDelete
    Replies
    1. cup cup cuuup, jangan nangis yaaa. "Biar kutanggung sendiri duka ini " heheee ... Makasih ya sudah mampir. ini teh siapa ya tertulis namanya UNKNOWN

      Delete
  2. Ngga nyerah kan buu?... semangaat...

    ReplyDelete
  3. Masih semangaaat .... heee makasih setia hadir disini

    ReplyDelete