Tuesday, July 9, 2019

Belitung (3) Dia Tetap Hidup Mendapat Rezeki Di Sisi Tuhan


Belitung, mengingatkanku akan hak wanita yang mati syahid


Aku berlari memeluk ayah pulang kerja. Kucoba membawakan tasnya yang ternyata berat. Akhirnya justru ayah yang menggendongku masuk rumah.

“ Koq sore-sore di rumah, libur ngajinya?” Tanya ayah sambil melepas sepatu
“ Aku sengaja bolos, daripada berantem sama temen.” Kataku serius sambil menata sepatu ayah di rak kayu. Kulihat ayah menahan tawa.
“ Masa anak perempuan berantem, ada masalah apa sih ?”
“ ituuu … teman-teman mengejek nama ayah yang panjang dan sangat ke Jawa-Jawa-an huruf Oooooo … semua.” Aku jadi terkekeh sendiri.

“ Bagaimana perasaanmu saat mereka mengejek nama ayah. Apakah sedih, malu atau marah ?” Tanya ayah penuh sayang.
“ Aku bangga punya ayah seperti ini, tak peduli apa kata teman-temanku.”
“ Oh Yaaa … kenapa bangga? Ayah kan cuma seorang guru yang miskin ?” Ayah membungkukkan badannya kearahku.
“ Karena kata Ibu, waktu ayah jadi PNS, tiap pemilu karyawan wajib nyoblos di kantor. Seluruh karyawan pilihannya sama. Cuma dua yang beda. Satu suara yang beda itu dari Ibu, dan satu suara lagi pastilah dari ayah. Akuuuu … bangga punya ayah yang berani berbeda dengan orang lain, dan siap menanggung resikonya.”
Mendengar itu meledaklah tawa ayah. Diliriknya Ibu yang sedang membuat secangkir kopi di meja makan.

Aku segera bergelayut dibadan ayah dan duduk dipangkuannya. Kutatap wajah ayah.
“ Apakah ayah bangga jadi anak kakek dan nenek.” Ayahpun mengangguk, sambil tersenyum. Aku berkata 
“ Aku bangga dan bersyukur karena kakek dari ayah, masih keturunan Kiai Jiddin “ 
“ Hahaha … apa yang kamu tahu tentang kiai Jiddin, ayah saja tidak banyak tahu. “

“ Aku tahu dari buku ayah, yang judulnya API SEJARAH yang ditulis Prof. Mansyur Suryanegara.”
Mendengar ucapanku, ayah mendadak berhenti tertawa.


“ Jadi diam-diam kamu baca buku ayah setebal itu. Dan kamu menemukan apa yang kamu ingin tahu ?”

Ayah segera mengambil buku yang kusebut. Aku menunjukkan apa yang tertulis di halaman 203.
Disitu disebutkan bahwa, perang Diponegoro tahun 1825 – 1830, didukung oleh 108 orang kiai, 31 orang haji, 15 orang syech. Perang tersebut berkobar di sepanjang Pantai selatan yang terbentang dari Cilacap hingga Jogja.


Dengan tersenyum menang aku berkata,
“ Ayah sendiri yang memberi tahu, bahwa Kakek Jiddin adalah kiai di Kebumen, pantai Selatan, tak jauh dari Jogja, Dan aku temukan di buku itu, bahwa para Kiai pantai selatan berperang dipihak Pangeran Diponegoro.”

 “ Tapi Anakku, mungkin saja sebutan kiai pada kakek Jiddin itu, tidak seperti bayanganmu Nak.” kata ayah seperti mengujiku.

“ Ayaaaah … Aku tidak ragu sedikitpun pada istilah-istilah orang di desa yang hampir semuanya petani. Coba saja ayah ingat-ingat, mbah kakung aku dari ibu, bukan petani tapi guru di kampungnya. Maka, kemanapun aku pergi di desa, melewati banyak lembah dan bukit, semua orang mengenalku dengan sebutan cucu mbah Guru. Aku yakin ayaaah, Sebutan yang beredar dalam masyarakat desa bukan hasil rekayasa, tapi betul betul jabatan orang itu di tengah masyarakat. Jadiii …. kakek Jiddin digelari Kiai Jiddin karena memang Kiai. ” Aku memaparkan argumentasi sederhanaku dengan sungguh sungguh.

Ayah diam, matanya menatap langit-langit ruang kerja, sepertinya dia sedang berfikir.

“ Aku juga bangga jadi cucu nenek Fatimah.” Celetukanku memecah keheningan.
“ Oh yaaa … “ ayah tersenyum “ aku saja tak banyak tahu tentang ibuku.”

“ Aku bangga karena nenek mati Syahid,” Ayah sekarang terbelalak. Aku mulai bercerita,
“ Tadi bu guru agama dikelas bilang, bahwa wanita yang wafat saat melahirkan, matinya dihitung mati syahid. Aku bahagia mendengarnya, karena nenek fatimah wafat akibat melahirkan.”

Tak Kusangka ayah malah gusar.
“ Oh Tuhanku, Mengapa anakku yang satu ini sering sekali bicara tentang ibuku yang sudah wafat.” Ayah menengadah sambil menutup wajahnya.

“ emh ...ayah … bukankah kita tidak boleh bilang MATI kepada orang yang mati syahid” Kataku sambil tak berani melihat ayah.

“ Ya ampuuun, takhayul apalagi ini ? Ibuku yaitu nenekmu memang sudah wafat, Naaak. Apa yang guru agamamu bilang ?” ayah gusar dan menatap mataku dengan serius.

“ Eeemh … bukan kata bu guru sih, tapi kata Al Qur’an.” jawabku di tengah hening.

“ Oh yaaa … memangnya sejak kapan kamu menghapal Al Qur’an ?” ayah tambah bingung.

“ Aku ga sengaja menghapal … , sebulan yang lalu aku terpilih mewakili sekolah ikut lomba di IAIN Sunan Gunung Jati. Lombanya Puitisasi terjemah al Qur’an berlima dengan teman. Ayatnya dibacakan dulu oleh kakak kelas yang memang qori, lalu kami berempat membaca terjemah Al Quran bersahut-sahutan seperti sedang main teather. Nah, dari latihan yang intensif menjelang lomba, aku jadi hapal ayatnya dalam Bahasa Arab, dan aku hapal terjemahnya seluruhnya, baik yang aku baca ataupun yang dibaca teman-teman” Kataku asik bercerita.

Ayah bangkit mengambil Al Qur’an yang ada terjemahnya, memintaku menunjukkan ayat yang ku maksud.

“ Surat Ali Imron 169, ayaaah … “
“ Coba kamu baca ! “ Ayah menyodorkan Al Quran. Alangkah bahagia aku, karena memang pada dasarnya ingin pamer hapalanku pada ayah. Aku mulai membacanya

وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ أَمْوَاتاً بَلْ أَحْيَاء عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَق
Jangan sekali kali kamu mengira bahwa orang-orang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup dn mendapat rezeki disisi tuhannya.

Ayah tertunduk berfikir sambil menarik nafas panjang. Aku belum juga puas bercerita

“ Ayah tau ngga … pas mau lomba, sebetulnya kami hampir memilih ayat yang ini lhooo. Teks-nya nyaris sama, terjemahnya jugaaa ... .” Kataku sambil sibuk membuka lembar-lembar Al Qur’an menuju Surat Al Baqoroh ayat 154.

Tanpa diminta, aku bacakan terjemah ayatnya dengan nada yang puitis,

Janganlah sekali-kali kamu mengatakan kepada orang-orang yang gugur dijalan Allah, bahwa mereka itu mati. Bahkan sebenarnya mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”

Ayah diam menatapku, lalu tertunduk sambil bergumam
“ Alangkah mudahnya berdebat dengan orang dewasa, dan alangkah rumitnya berbicara dengan anak kecil.”

   Catatan :
Buat teman-teman, yang belum baca kisahku sebelumnya, silahkan baca dulu ya dengan klik judul dibawah ini

2 comments:

  1. Subhanallaah... speechless.. no wonder cucunya mengalir darah warisan seorang kyai... 👍👍👍

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya juga penasaran pingin kenalan sama cucunya yang bawel itu, wkkk kalau ketemu dia tolong kabar-kabari yaaa ...

      Delete