Belitung, mengingatkanku akan hak wanita yang mati syahid
Aku berlari
memeluk ayah pulang kerja. Kucoba membawakan tasnya yang ternyata berat.
Akhirnya justru ayah yang menggendongku masuk rumah.
“ Koq
sore-sore di rumah, libur ngajinya?” Tanya ayah sambil melepas sepatu
“ Aku
sengaja bolos, daripada berantem sama temen.” Kataku serius sambil menata
sepatu ayah di rak kayu. Kulihat ayah menahan tawa.
“ Masa anak
perempuan berantem, ada masalah apa sih ?”
“ ituuu …
teman-teman mengejek nama ayah yang panjang dan sangat ke Jawa-Jawa-an huruf Oooooo
… semua.” Aku jadi terkekeh sendiri.
“ Bagaimana
perasaanmu saat mereka mengejek nama ayah. Apakah sedih, malu atau marah ?” Tanya
ayah penuh sayang.
“ Aku
bangga punya ayah seperti ini, tak peduli apa kata teman-temanku.”
“ Oh Yaaa …
kenapa bangga? Ayah kan cuma seorang guru yang miskin ?” Ayah membungkukkan
badannya kearahku.
“ Karena
kata Ibu, waktu ayah jadi PNS, tiap pemilu karyawan wajib nyoblos di kantor. Seluruh
karyawan pilihannya sama. Cuma dua yang beda. Satu suara yang beda itu dari
Ibu, dan satu suara lagi pastilah dari ayah. Akuuuu … bangga punya ayah yang berani
berbeda dengan orang lain, dan siap menanggung resikonya.”
Mendengar
itu meledaklah tawa ayah. Diliriknya Ibu yang sedang membuat secangkir kopi di
meja makan.
Aku segera
bergelayut dibadan ayah dan duduk dipangkuannya. Kutatap wajah ayah.
“ Apakah
ayah bangga jadi anak kakek dan nenek.” Ayahpun mengangguk, sambil tersenyum. Aku berkata
“ Aku bangga dan bersyukur karena kakek dari ayah, masih keturunan Kiai Jiddin “
“ Aku bangga dan bersyukur karena kakek dari ayah, masih keturunan Kiai Jiddin “
“ Hahaha …
apa yang kamu tahu tentang kiai Jiddin, ayah saja tidak banyak tahu. “
“ Aku tahu
dari buku ayah, yang judulnya API SEJARAH yang ditulis Prof. Mansyur
Suryanegara.”
Mendengar ucapanku, ayah mendadak
berhenti tertawa.
“ Jadi
diam-diam kamu baca buku ayah setebal itu. Dan kamu menemukan apa yang
kamu ingin tahu ?”
Ayah segera
mengambil buku yang kusebut. Aku menunjukkan apa yang tertulis di halaman 203.
Disitu
disebutkan bahwa, perang Diponegoro tahun 1825 – 1830, didukung oleh 108 orang kiai, 31 orang haji, 15 orang syech. Perang tersebut berkobar di sepanjang Pantai selatan yang
terbentang dari Cilacap hingga Jogja.
Dengan
tersenyum menang aku berkata,
“ Ayah
sendiri yang memberi tahu, bahwa Kakek Jiddin adalah kiai di Kebumen, pantai Selatan,
tak jauh dari Jogja, Dan aku temukan di buku itu, bahwa para Kiai pantai selatan berperang dipihak Pangeran
Diponegoro.”
“ Tapi Anakku, mungkin saja
sebutan kiai pada kakek Jiddin itu, tidak seperti bayanganmu Nak.” kata ayah seperti mengujiku.
“ Ayaaaah …
Aku tidak ragu sedikitpun pada istilah-istilah orang di desa yang hampir
semuanya petani. Coba saja ayah ingat-ingat, mbah kakung aku dari ibu, bukan
petani tapi guru di kampungnya. Maka, kemanapun aku pergi di desa, melewati
banyak lembah dan bukit, semua orang mengenalku dengan sebutan cucu mbah Guru. Aku
yakin ayaaah, Sebutan yang beredar dalam masyarakat desa bukan hasil rekayasa, tapi
betul betul jabatan orang itu di tengah masyarakat. Jadiii …. kakek Jiddin
digelari Kiai Jiddin karena memang Kiai. ” Aku memaparkan argumentasi sederhanaku dengan sungguh sungguh.
Ayah diam, matanya menatap langit-langit ruang kerja, sepertinya dia sedang berfikir.
Ayah diam, matanya menatap langit-langit ruang kerja, sepertinya dia sedang berfikir.
“ Aku juga
bangga jadi cucu nenek Fatimah.” Celetukanku memecah keheningan.
“ Oh yaaa …
“ ayah tersenyum “ aku saja tak banyak tahu tentang ibuku.”
“ Aku
bangga karena nenek mati Syahid,” Ayah sekarang terbelalak. Aku mulai bercerita,
“ Tadi bu
guru agama dikelas bilang, bahwa wanita yang wafat saat melahirkan, matinya
dihitung mati syahid. Aku bahagia mendengarnya, karena nenek fatimah wafat
akibat melahirkan.”
Tak Kusangka ayah malah gusar.
“ Oh
Tuhanku, Mengapa anakku yang satu ini sering sekali bicara tentang ibuku yang
sudah wafat.” Ayah menengadah sambil menutup wajahnya.
“ emh ...ayah … bukankah
kita tidak boleh bilang MATI kepada orang yang mati syahid” Kataku sambil tak
berani melihat ayah.
“ Ya ampuuun, takhayul apalagi ini ? Ibuku yaitu nenekmu memang sudah wafat, Naaak. Apa yang
guru agamamu bilang ?” ayah gusar dan menatap mataku dengan serius.
“ Eeemh …
bukan kata bu guru sih, tapi kata Al Qur’an.” jawabku di tengah hening.
“ Oh yaaa …
memangnya sejak kapan kamu menghapal Al Qur’an ?” ayah tambah bingung.
“ Aku ga
sengaja menghapal … , sebulan yang lalu aku terpilih mewakili sekolah ikut
lomba di IAIN Sunan Gunung Jati. Lombanya Puitisasi terjemah al Qur’an berlima
dengan teman. Ayatnya dibacakan dulu oleh kakak kelas yang memang qori, lalu
kami berempat membaca terjemah Al Quran bersahut-sahutan seperti sedang main
teather. Nah, dari latihan yang intensif menjelang lomba, aku jadi hapal ayatnya
dalam Bahasa Arab, dan aku hapal terjemahnya seluruhnya, baik yang aku baca
ataupun yang dibaca teman-teman” Kataku asik bercerita.
Ayah
bangkit mengambil Al Qur’an yang ada terjemahnya, memintaku menunjukkan ayat
yang ku maksud.
“ Surat Ali
Imron 169, ayaaah … “
“ Coba kamu
baca ! “ Ayah menyodorkan Al Quran. Alangkah
bahagia aku, karena memang pada dasarnya ingin pamer hapalanku pada ayah. Aku mulai
membacanya
وَلاَ تَحْسَبَنَّ
الَّذِينَ قُتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ أَمْوَاتاً بَلْ أَحْيَاء عِندَ رَبِّهِمْ
يُرْزَق
“ Jangan
sekali kali kamu mengira bahwa orang-orang gugur di jalan Allah itu mati,
bahkan mereka itu hidup dn mendapat rezeki disisi tuhannya.”
Ayah
tertunduk berfikir sambil menarik nafas panjang. Aku belum juga puas bercerita
“ Ayah tau ngga …
pas mau lomba, sebetulnya kami hampir memilih ayat yang ini lhooo. Teks-nya nyaris sama, terjemahnya jugaaa ... .” Kataku sambil sibuk membuka lembar-lembar Al Qur’an menuju Surat Al
Baqoroh ayat 154.
Tanpa diminta, aku bacakan terjemah ayatnya dengan nada yang puitis,
“ Janganlah
sekali-kali kamu mengatakan kepada orang-orang yang gugur dijalan Allah, bahwa
mereka itu mati. Bahkan sebenarnya mereka itu hidup, tetapi kamu tidak
menyadarinya.”
Ayah diam menatapku,
lalu tertunduk sambil bergumam
“ Alangkah
mudahnya berdebat dengan orang dewasa, dan alangkah rumitnya berbicara dengan
anak kecil.”
Catatan :
Buat teman-teman, yang belum baca kisahku sebelumnya, silahkan baca dulu ya dengan klik judul dibawah ini
Buat teman-teman, yang belum baca kisahku sebelumnya, silahkan baca dulu ya dengan klik judul dibawah ini
Belitung (1) Nenekku Di Gantung Di Manggar
Belitung (2) Akan Kupamerkan Rapor & Izajah Ayah Pada Nenek
Dan kalau teman-teman pingin nerusin lanjutan kisahnya klik judul dibawah ini :
Belitung (4) Gantung, Rinduku Tak Bersambut
Belitung (5) Antara Manggar & Tanjung Pandan Kureguk Dua Rindu
Belitung (2) Akan Kupamerkan Rapor & Izajah Ayah Pada Nenek
Dan kalau teman-teman pingin nerusin lanjutan kisahnya klik judul dibawah ini :
Belitung (4) Gantung, Rinduku Tak Bersambut
Belitung (5) Antara Manggar & Tanjung Pandan Kureguk Dua Rindu
Subhanallaah... speechless.. no wonder cucunya mengalir darah warisan seorang kyai... 👍👍👍
ReplyDeleteSaya juga penasaran pingin kenalan sama cucunya yang bawel itu, wkkk kalau ketemu dia tolong kabar-kabari yaaa ...
Delete