Tuesday, January 4, 2022

Tebing Koja, Wisata Dekat Jakarta Yang Instagramable

Kali ini, iseng aja pingin refreshing ke destinasi yang masih seputaran JabodetabekNyoba googling, dapat ide buat jalan ke Tebing Koja di Tangerang

Sempat tercengang melihat foto-foto yang ditayangkan. Bukit batu besar, tampak seperti godzilla lengkap dengan kandangnya. Hei, heeei … koq keren banget ini tempat ! Kenapa juga aku baru tau.


Scroll ke bawah, nemu satu destinasi lagi, bernama Telaga Biru. Lho, ternyata berdekatan. Oke lah aku coba jalan kesana. Sekali jalan dapat dua tempat, bikin niat tambah mantap.

Besoknya, hangat mentari pagi menyalakan semangat, bagai menyeruput secangkir kopi beraroma sedap.

Cukup dipandu oleh Google maps, kami menyusuri jalan Toll Lingkar Luar Jakarta. Kemudian berbelok mengambil arah toll Jakarta - Merak. lalu keluar di gerbang toll Balaraja Barat.


Kami lanjutkan perjalanan, dengan melintasi Jalan Raya Serang. Hingga di suatu pertigaan, google maps mengarahkan kami untuk belok kiri ke jalan Raya Cangkudu - Cisoka. 

Beberapa kali menerabas genangan air, padahal cuaca cukup panas, aneh ! Penasaran, ku perhatikan tepi jalan. Saluran air terkadang mampet oleh sampah, jadi air justru mengalir di jalan raya, Hmm …

Matahari belum tepat diatas kepala, tapi prediksi kami, nanti di lokasi paling-paling cuma asik ekplorasi. Ya udah, kami amankan perut dengan lontong dan tahu isi.

Tiba-tiba, Google maps mengarahkan kami untuk berbelok tajam ke sebuah Gang bernama Pertigaan Pala. Mulailah kami menapaki jalanan dengan pengerasan coran. Jalanan hanya cukup satu mobil, pada saat berpapasan dengan sepeda motor, kami harus melambatkan kendaraan. 

Untunglah kupilih weekday untuk perjalanan ini, jadi rada sepi. Sempat satu kali berpapasan dengan mobil dari arah berlawanan. Kudu saling pengertian dan mau mengalah. Mundur sedikit, mencari jalanan yg pinggirannya agak luas. 

Jalanan meliuk membelah sawah yang membentang. Terkadang  merunduk dibawah ribunan pohon yang meneduhkan di sepanjang kanan dan kiri jalan.


Terkadang juga melewati deretan rumah penduduk. Sering kami temukan warga memarkir sepeda motor di tepi jalanan yang aslinya tuh sudah sempit. 

Akhirnya tibalah kami di suatu tempat, dengan banner besar bertuliskan, 
“SELAMAT DATANG DI TEBING KOJA”

Ketika mobil dilambatkan, empat bocah berlarian menyambut kami. Penuh semangat mereka berteriak

“Parkir sini Bu, ayo-ayoo ... parkir sini.” Mereka mengarahkan kami untuk parkir di rumah warga. 

“ apa ngga ada parkiran khusus wisatawan ?” pikirku.

Lihat di Google Maps, sebetulnya kami belum sampai, tinggal sedikit lagi. 

“ Apakah betul, ini tempat parkir untuk ke tebing Koja ?” Tanyaku pada anak2 itu.

“ Betul … betul … betuuul !!” seru bocah-bocah itu hampir serempak.

“ Mana tebing Koja nya ?” Tanyaku lagi.

“ Masuk kesana, menyusuri gang di samping rumah ini !!” Suara parau seorang bocah, sambil mengarahkan telunjuk.

Hmm ... Ini adalah rumah warga. Halamannya kira-kira muat untuk 5 mobil. Sudah terparkir 3 mobil dengan plat B. Seorang nenek keluar dari dalam rumah melempar senyum sambil mengangguk.


Baru saja memutar stir untuk masuk parkiran, sebuah sepeda motor mepet menghampiri pintu supir. Pengendaranya seorang pemuda berkaos hitam, bertanya,

“ Permisi, Ibu dan rombongan mau ke Tebing Koja ? Bukan disini tempatnya. Maju sedikit lagi baru sampai.” Katanya serius tanpa turun dari sepeda motornya.

“ Engga, engga … dia bohong ! Ini sudah sampai di tebing Koja.” Seru bocah-bocah itu ramai.

 “ Ibu, mau ke Tebing Koja kan ? Bukan di sini, beneran … maju sedikit lagi. Kalau di sana, ibu bisa naik perahu. Kalau dari sini, jalannya juga harus lewat kuburan.” Sorot mata pemuda itu melempar suatu isyarat yg kuat. 

Tapi bocah-bocah tetap bertahan. Mereka beramai-ramai meneriaki pemuda tersebut dengan sengit.

O’ow drama apa ini ? Kupikir aku harus segera memutuskan. 

“ Oke, makasih arahannya ya Mas. Tapi ngga apa-apa, kami parkir disini saja.” Kataku berusaha sopan pada pemuda itu. 

Pemuda berkaos hitam, menyisir bocah-bocah itu satu per satu dengan pandang tak suka. Akhirnya dia berlalu tanpa pamit.

Sejujurnya, keputusanku hanya terdorong oleh kesungguhan bocah-bocah umur 11 tahunan ini. Dan aku tak ingin menghempas senyum seorang nenek, yang berdiri penuh harap di depan pintu rumah.

Setelah rapi memarkir, Nenek tersebut segera menghampiriku sambil menyodorkan karcis kecil bertulis Parkir Rp.10.000. 

“ Apakah harus dibayar sekarang ? Ataukah nanti saat kami pulang ?” Tanyaku dengan sikap dan nada sesopan mungkin.

“ Sekarang saja, jadi nanti tinggal pergi.” Jawab nenek tersebut.

“ Baiklah Nenek, kalau begini peraturannya.” Bisik hatiku. Sambil beramah tamah dengan obrolan ringan, kuserahkan uang sesuai tarif.

Urusan parkir selesai dan bocah-bocah itu bubar. Tapi ada satu bocah dengan baju koko selutut, mengikuti kami. Dia menunjukan pada kami, jalan menuju Tebing Koja. Masuk gang dengan lebar sekitar satu meter, tepat disamping rumah nenek tadi.

Jalanan lurus diberi pengerasan paving block, melewati  sekitar sepuluh rumah. Ada induk ayam, menyebrangi paving block, mengawal anak-anaknya. Ada tiga kambing, bergegas belok menghindari berpapasan dengan kami. Oh Tuhan … ! 

Setelah itu jalanan hanya tanah lembab. Hmmm … suasananya seperti di belakang rumah nenekku di sebuah dusun terpencil di Jawa Tengah.

“ Maaf karcisnya bu, per orang Rp.5000.” Dua pemuda menyapa dengan senyum ramah.

“ Oh, oke. Boleh saya lihat karcisnya ?” Aku cuma cari aman, sebab tak kulihat ada semacam gerbang atau pintu masuk area wisata.

“ Maaf Bu, karcisnya habis, sedang difotocopy lagi.” Aku merasakan ada getar dusta, tapi mau gimana lagi, aku cuma bisa tertawa. Kurogoh kantong dan membayar untuk enam orang.

Kamipun melanjutkan perjalanan ditanah yg terkadang datar terkadang menurun.
Lalu disisi kanan kami ada pagar rendah terbuat dari bambu. Dari sana tebing batu mulai tampak menyembul di antara semak yg menghalang pandang. 

“ Whaaa …,  akhirnya kita sampai juga !” Seruku 

Pada turunan terakhir, terhamparlah tebing-tebing batuan. Lumayan indah untuk membuang kepenatan akibat rutinitas.



Untuk mencapai tebing-tebing tersebut, kami harus melewati gubuk-gubuk (maaf-kumuh) tempat orang berjualan. 

Bocah dengan baju koko, masih menguntit kami. Kutaksir umurnya sekitar 12 tahun. Dia banyak menunduk dan sedikit tersenyum. Aku sapa dia,


 “ Hai Nak, maukah kamu tunjukkan, kemana kami harus bergerak pertama kali ?” Area tebing Koja ini, memang minim rambu atau petunjuk arah untuk wisatawan.

“ Mulai saja dari celah batu yang itu, Bu.” Katanya sambil menunjuk. Mata bocah ini selalu menghindar dari tatapan. 



“ Maukah kamu menemani kami keliling mengitari Tebing Koja ini ?” Tanyaku berusaha ramah.
Dia mengangguk, lalu bergegas berjalan mendahului kami. 

Setelah melewati celah batuan tersebut, ada semacam tangga terpahat di bebatuan untuk membantu orang mencapai puncak bukit kecil.

Di puncak, kuedarkan pandang ke sekeliling . Tebing yang menyerupai tembok panjang yang kulihat saat googling, terletak agak jauh dari kami. Harapanku nantinya aku bisa mendekati.

Sedikit berkeliling di puncak, ada semacam ceruk besar dibawah kaki kami.
“ Kalau Ibu mau, saya bisa turun kebawah untuk memotret ibu dan rombongan .” Si Bocah berinisiatif.

“ Oh gitu ya. Ya udah, ayo turun bareng Ibu saja. Biar nanti kita berdua yang motretin rombongan ibu.” Jawabku disambut anggukan kepalanya.


Sambil berjalan, Si Bocah beberapa kali menunjukkan spot yang cocok untuk selfie. Aku mencoba usulannya, Dan Haaai ... oke juga ide-idenya, dan bagus sudut pengambilan gambarnya. 


Bocah ini membantu memotret kami sekeluarga dengan HP kami masing-masing. Ternyata dia hafal dan sangat jeli menentukan sudut  pengambilan gambar. 

Kami berkeliling menikmati bebatuan besar menjulang. Pemandangan yang jarang kutemui sehari-hari. Tapi tebing panjang tak juga bisa kudekati. Ada juga batuan tipis dan tinggi yang bertuliskan larangan untuk didaki.

Daerah ini memang awalnya adalah tempat menambang pasir. Dan artinya semua bebatuan menjulang ini, adalah yang tersisa setelah seluruh pasirnya dikeruk. Kemudian hujan mengisi daerah2 yang rendah menjadi semacam danau.

Yaa ..., pada akhirnya menurutku lokasi ini memang instagramable, sangat cocok untuk tempat berfoto. Pantas saja menurut orang, Tebing Koja banyak dipakai sebagai tempat foto prewedding.

Hampir satu jam kami disana, hanya bertemu sekitar 4 rombongan lain yang bergantian datang dan pulang

Puas berfoto ria, kami putuskan segera kembali ke parkiran. Tak lupa memberi uang saku sepantasnya untuk si bocah berbaju koko. Dan dia terlihat senang.

Masuk mobil langsung nyess dingin, lupa kalau di luar cuaca Tanggerang cukup panas . Alunan lagu Fatin, “Bersama Pelangi dan Hujan” menawarkan suasana ceria

Mentari sudah tergelincir ke arah barat, dan kami masih ingin menuju Danau Biru. kemudian mengakhiri hari dengan 


Teman-teman ..., silahkan tinggalkan komentar atau pertanyaan, pada kolom yang disediakan dibawah. 

Dan silahkan simak juga seri traveling aku yang lain dengan klik link dibawah ini





#tebingkoja
#kandanggodzilla
#tebingkojatanggerang
#kojacliffpark

2 comments:

  1. ulasannya jelas banget, jd pengen juga berkunjung ke tebing koja ini. trims rekomendasi nya ya!!!

    ReplyDelete
  2. Makasih juga yaa. Kalau ke Tebing Koja ambil gerbang yang lebih ke depannya lagi deh, sesuai arahan si Mas2 kaos hitam dalam kisah saya. Biar bisa naik perahu keliling danau, dan berfoto dengan latar si batu Godzilla

    ReplyDelete